Ini Cara yang Tepat Menyatakan Cinta

Tidak banyak perempuan yang berani untuk mengungkapkan perasaannya dan malah memilih untuk memendamnya entah sampai kapan. Sebenarnya, menyatakan cinta itu sah-sah saja selama anda menggunakan cara yang sopan dan tidak berlebihan.

Mengetahui Kadar Cinta Si Dia

Keingintahuan merupakan hal yang sangat wajar dalam kehidupan manusia. Keingintahuan dapat terkait dengan banyak hal dan salah satunya mengenai pasangan anda. Berikut beberapa tips untuk mengetahui kadar cinta si dia

Ada Banyak Cara Melupakan Mantan Pacar

Setiap hubungan percintaan pasti mengalami masa-masa yang sulit untuk bisa saling memahami perbedaan yang ada. Seringnya perbedaan tersebut malah membuat hubungan tersebut menjadi sangat buruk kualitasnya. Tidak jarang hal ini mengakibatkan putus cinta

Lewat Surat Cinta Bisa Lebih Ungkapkan Romantisme

E-mail, SMS, sampai instant messenger memang sangat mempermudah komunikasi kita dengan orang lain. Namun, ketika sedang menjalin kasih Anda pasti tak ingin menerima ucapan cinta melalui pesan singkat saja. Untuk mengatasi kebosanan dan membuat hubungan semakin romantis, tak ada salahnya untuk kembali menggunakan cara tradisional, yaitu surat cinta. Meski terbilang jadul, melalui surat cinta Anda bisa lebih puas mengungkapkan perasaan dengan kalimat yang lebih romantis. Apalagi jika surat itu Anda selipkan ke tangannya dilengkapi setangkai mawar merah.

Pada Bulan Merah Akankah Kau Pulang

Sampai penantian itu berbilang tahun --20 tahun hingga kini-- bagai kumbanng putus tali. Hilanng tanpa kendali. Andaikata pula ia tersesat, mestinya aku tahu di mana rimbanya. Kalaupun ia wafat, aku berharap tahu pula di mana tempat kuberziarah.

Doa Sebutir Peluru

Engkau teerdiam, bersarang di dalam leher seseorang setelah sebelumnya menerjang, berteriak garang. Engkau masih terdiam ketika leher yang kau lubangi itu mengucurkan darah merah, memulas tanah, mengguris hitam pada sejarah. Kemudian perlahan engkau meringis, mulai menangis, memaki segala macam tragedi sementara tubuhmu tak dapat bergerak, tetap berdiam di tubuh manusia malang itu.

Selasa, 23 Oktober 2012

Gadis Bermata Gerimis

Cerpen : Zelfeni Wimra

Aku harus bertemu Gadis bermata gerimis itu menjelang siang beralih senja. Menjelang matahari benar-benar dari pandangan dan perbukitan Batu Ampa telah disungkup gelap. Sebab, bila alam telah kelam, tanjakan dan penurunan jalan yang akan dilalui jauh lebih sulit dilewati daripada ketika masih tersisa terang di garis langit. Aku mempercepat langkah. Garis kelabu masih tergurat di sekitar ufuk barat. Aku pererat tali sepatu yang terasa longgar. Jalan setapak menuju Rumah Gadang terpencil yang kini di tempati Gadis masih licin. Sisa hujan siang membuat badan jalan bertanah liat dan berbatu itu barbalut lumpur.

Ojek yang kutumpangi tidak bersedia mengantar sampai ke halaman lantaran jalan licin. Sudah lama aku mengidamkan perjalanan ini. Menjelang usia 25 tahun aku pikul, hari-hariku lebih banyak di kampus. Setelah menamatkan S1 langsung ke S2. Begitu bunyi perjanjian dengan yayasan yang memberiku beasiswa. Sepanjang 25 tahun itu, rasanya, hidup bekejaran dengan sekawanan rencana dan cita-cita yang liar, Target-target hidup modern yang akhirnya kusadari telah menjauhkanku dari kesempatan memaknai asal-usul. Sering aku menerima cibiran. Aku dikatakan perempuan ambisius yang telah tercerabut dari akar budayanya. Perempuan berdarah Minang yang tiada lagi menginjak bumi; lupa pada jaringan kerabat dan sanak famili. Pernyataan itu harus kuterima dengan sadar dan sabar.

Dalam hati telah kusimpan niat bahwa pada waktunya aku akan pulang, mencicil utang-utang pada kerabat di kampung. Terutama utang untuk Gadis bermata gerimis itu. Sebenarnya aku memanggilnya Nek Gadis. Panggilan unik yang tidak aku saja yang menggunakan. Sekampunng, orang memanggilnya Nek Gadis. Nama lengkapnya Gadis Yulianis, amak dari ibuku yang kini tinggal sendirian menghuni Rumah Gadang kami di Batu Ampa. Seorang nenek yang selalu tampak ceria. Ketika sedang tersenyum, matanya yang tua selalu seperti dituruni gerimis. Sungguh pun begitu, dalam hati, aku senang menyebut dan menganggapnya sebagai seorang gadis muda, kesadaran akan keberadaan aku dan dia memuncak ketika mendapat email dari seorang pengurus yayasan: "Jelito, nenekmu sudah merindukanmu. Kalau urusan di kampus sudah selesai, pulanglah. Temui dia, sebelum ajalnya mendahuluimu..."

Pesan singkat yang menyentak perasaan. Setelah menuntaskan dengan dengan kampus dan Yayasan bung Hatta, pemberi beasiswa kuliahku, aku langsung mengurus keberangkatan dari Bandung-Jakarta-Padang. Dari Padang melakukan perjalanan darat dengan bus ke Payahkumbuh. Turun di simpang Batu Ampa lalu naik ojek ke alamat yang kini di tempati Nek Gadis.

Aduhai. Sahutan suara siamang dari kejauhan menyambutku. Jalanan lengang. Kesejukan menyelimuti segenap pikiran melihat orang-orang mengayuh sepeda. Hanyaa sesekali melintas motor. Gemercik air di sawah. Kicau burung. Semua mengetuk kesadaran yang selama ini trkurung dalam dalam diri dan tak pernah tersapa. Inikah kampung asalku? Barisan rumah yang dihuni orang-orang sederhana. Bentangan sawah-ladang yang lebih banyak tidur daripada tergarap karena pemiliknya telah ditelan perantauan.

Berbekal sisa tabungan, aku beniat akan tinggal lebih lama di sini. Selain ingin bertemu satu-satunya keluarga yang masih hidup, aku ingin menjiwai lebih dalam cita-cita menjadi perempuan di ranah yang bersuku ke ibu. Mudah-mudahan nenek bahagia menerima kehadiranku. Hari benar-benar gelap. Aku bersuluh senter yang tersedia di ujung telepon genggam. Aku tapaki anak tangga Rumah Gadang yang dibangun di atas sepetak tanah di pinggir kebun kakao.

Dulu, ketika keluargaku masih utuh, rumah ini kami kunjungi, paling hanya sekali setahun, setiap hari raya tiba. Daun pintu terbuka dengan gerak yang lembut. Sesosok tubuh bungkuk muncul diterangi cahaya lentera. Kebiasaannya belum juga berubah, lebih suka bersuluh lentera padahal Rumah Gadang itu sudah dialiri listrik. lebih suka mendengar radio, padahal mendiang ibuku sudah membelikan televisi.

"Masuklah." getar suaranya sangat dalam. Suara seorang yang sudah lama mengecap asam-garam kehidupan. Ia bergegas ke sebuah lemari. Memperkecil volume radio yang sejak tadi terdengar mendominasi suara seisi rumah. Lambat-lambat, suara katak dan belalang meningkahi. Ia kemudian mengembangkan tangan. Siap menerima pelukan. Aku langsung menyambutnya. Pelukan yang menenangkan. Pelukan yang menandakan kerinduan yang lama tertahan.

"Jelito, Nenek sudah lama menunggumu," kedua tangannya menupang dagu dan pipiku.

"Pipi ini. Hidung ini. Mata ini. Semuanya mirip sekali dengan punya ibumu," ucapnya disela haru yang terjaga. Matanya kembali bergerimis, tapi otot pipinya seperti sudah terlatih mengendalikan perasaan, sehingga hanya tiga segukan yang keluar.

"Nenek sudah dapat kabar siang kemarin, kalau kamu akan pulang. Nenek sengaja berpesan pada orang yayasan yang tempo hari memberitahu Nenek kalau kamu akan wisuda. Nenek ingin kamu ada di sini menjelang usia Nenek ditutup nan satu. Di keluarga kita, yang tersisa hanya kita berdua....."

Di sela getar suara nenek, ingatanku memutar kembali gempa Aceh 2004 lalu. Bencana yang mengakhiri kebersamaanku dengan keluarga di sana. Beruntung keberadaanku cepat diketahui. Aku selamat dari bencana itu karena sedang berada di asrama pondok pesantrenku di Bukittinggi. Neneklah yang mengurusi penjemputanku.

Yayasan Bung Hatta menyetujui permohonan nenek untuk mengamankanku yang waktu itu masih kelastiga Aliyah. Aku sempat dibawa ke rumah nenek, berpamitan menjelang aku berangkat ke Bandung melanjutkan pendidikan.

Enam tahun lebih berlalu. Rentang waktu yang kulalui antara harapan dan ketakutan. Namun, terasa sangat singkat ketika berada kembali di pelukan nenek. Merasa denyut semangat di tubuh 85 tahunnya. Tubuh boleh saja ringkih. Ia boleh saja ditinggal mati suaminya, disusul kehilangan anak perempuan dan menantunya, tetapi semangat yang dikandung batinnya terasa masih menyala. Segelas teh hangat sudah tersedia di meja bundar yang dilingkari kursi rotan ketika selesai mandi dan shalat Maghrib. Tapi masih aku abaikan. Sungkan rasanya langsung meminum teh buatannya. Aku langsung ke dapur menemaninya menunggu rebus buncisnya matang.

"Tehnya sudah kau minum?" tanyanya sambil menyusun letak kayu api yang ujung-ujungnya sedang menyala. Aku menggeleng.

"Kenapa belum diminum? Kalau sudah dingin, tidak enak."

"Harusnya aku yang buatkan teh untuk nenek," tanggapku.

"Tak apa. Itu tanda kerinduan nenek padamu. Minumlah."

Aku dan nenek terlibat aktivitas menjelang makan malam. Hingga kantuk terasa kami terus bercerita tentang banyak hal yang muara kisahnya berputar pada keadaan keluarga kami yang nyaris punah. Katanya, kalau dirinyatelah tiada, tinggal aku seorang anak perempuan yang akan meneruskan nasab keluarga. Ia kisahkan pula bagian terpenting dalam hidupnya. Tentang sejumlah kekeliruan yang pernah dilakukan di masa lalu.

Semasa muda, ia pernah mengalami perasaan iba yang tak terperikan. Perasaan iba itu menguasai pikirannya sehingga ia termasuk gadis yang terlambat bersuami. Ia menikah saat sudah berusia 30 tahun. Di masa Nrk Gadis muda, itu sudahsangat terlambat. Setelah menikah, ia pun hanya dikaruniai dua orang anak. Satu laki-laki, dan satu perempuan. Yang laki-laki meninggal ketika berusia delapan bulan. Yang perempuan, yakni ibuku, meninggal pada bencana tsunami Aceh. Tinggal aku, cucu perempuannya.

"Doa nenek sekarang, cepatlah hendaknya kamu bertemu jodoh. Teruskan nasab keluarga kita. Atau jangan-jangan kamu sudah punya calon? Bilanglah sama nenek....." Keriput senyumnya seperti sedang menggoda dan gerimis di matanya terus saja merinai. Aku juga mencoba tersenyum. Terlalu dini membukanya pada nenek. Bisa saja dia tercengang; sangat heran bila rahasia masa mudaku diceritakan padanya. Bisa jadi dia naik pitam mendengarnya.

Di ujung senyum yang kupaksakan itu, kutanyakan pada nenek, apa sebenarnya hal yang pernah membuatnya bersedih sehingga larut dalam perasaan tak berguna. Melakukan hal yang kini ia anggap keliru, sampai-sampai ia terlambat menikah? Nenek tidak menjawab dengan jelas. Ia hanya menceritakan tentang rencana mamaknya memperkenalkan pada seorang anak muda terpelajar yang pada saat itu sedang berada di Tanah Jao. Anak muda itu masih cucu saudara sepupu sang mamak. Ia seorang yang secara adat sangat pantas mempersunting nenek. Pulang ka Bako, demikianlah istilah adatnya, yakni menikah dengan kemenakan atau keluarga ayah.

Apa yang terjadi? Hanya sekali pemuda itu pulang. itu pun sebentar. Hanya beberapa hari. Setelah sempat diperkenalkan pada nenek, ia kembali lagi ke Tanah Jao dan tak pulang-pulang. Sang mamak tetap meninta nenek bersabar. Kalau negeri sudah aman, pemuda yang akan menjadi suami nenek itu pasti akan pulang. Ini sudah menjadi keputusan keluarga. Rasanya sayang kalau pemuda itu mempersunting gadis lain di tanah rantau. Jika itu terjadi, ibaratnya memagar kelapa condong. Batang di kebun kita tapi buah jatuh ke ladang orang. Begitu pikiran sang mamak.

Beberapa kerabatlain juga berkeyakinan seperti itu. Mereka paham, pemuda itu sedang berjuang memerdekakan sebuah negara-bangsa. Jadi anak muda di masa itu memang penuh tantangan. Mallu besar bila ada anak muda yang hanya mampu memikirkan dirinya sendiri. Apalgi laki-laki. Nenek juga berusaha mengerti bagaimana rumitnya jadi laki-laki di masa itu. Beruntung masih bisa hidup. Bahkan tak terhitung yang meregang nyawa kerena memperjuangkan hidup dan tanah airnya. Tapi, seperti yang diakui nenek, satu hal yang sering membuatnya terjebak iba adalah penantiannya yang tak berujung. Pemuda itu tak pernah berkabar. Hal ini bukan perkara laki-laki. Kata nenek, ini perkara perempuan. Selalu perempuan yang ditinggalkan; selalu perempuan yang menunggu.

"Siapa nama pemuda yang Nenek tunggu-tunggu itu, Nek?" tanyaku tak sabar.

Nenek trtegun. Matanya kembali bergerimis. Di luar, gerimis sungguhan juga turun. Kerut wajahnya menampakan tanda-tanda misterius yang tak mampu kupahami maknanya. Dengan langkah tenang, nenek berlalu ke ruang tidur.

Nenek keluar dari biliknya membawa sebuah map kelabu yang sudah tampak tua. Map itu bergetar ketika nenek menyerahkannnya padaku. Pelan-pelan map itu aku buka. Sebuah foto setengah badan. Seorang pemuda berkaca mata bingkai hitam.

"Bung Hatta?"

Suaraku tercekik ditenggorokan. Kami pun tak lagi bercakap-cakap. Hanya saling tatap. Di luar, gerimis terus menyentuh atap. Perlahan seiring rentak gerimis, aku perhatikan muka nenek. Keriput bertautan. Akusentuh bahunya.

"Nek, ada apa dengan mata Nenek?" aku guncang-guncang bahunya. Kembali kuperhatikan, rupanya di kedalaman mata nenek, rintik gerimis semakin rapat.

Dari cara nenek membersihkan percikan gerimis di matanya, terlihat sekali kalau dirinya sudah terbiasa menghadapi perasaan demikian. Penglihatanku pun jadi sedikit kabur dibatasi kabut yang tercipta dari percikan gerimis di mata nenek. Wajah nenek tidak lagi terlihat keriput, melainkan seperti wajah seorang gadis yang kuyp di tengah siraman gerimis. (*)

Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 21 Oktober 2012

Minggu, 07 Oktober 2012

Doa Sebutir Peluru


Cerpen: Skylashtar Maryam

Engkau teerdiam, bersarang di dalam leher seseorang setelah sebelumnya menerjang, berteriak garang. Engkau masih terdiam ketika leher yang kau lubangi itu mengucurkan darah merah, memulas tanah, mengguris hitam pada sejarah. Kemudian perlahan engkau meringis, mulai menangis, memaki segala macam tragedi sementara tubuhmu tak dapat bergerak, tetap berdiam di tubuh manusia malang itu.

Perlahan, amat perlahan.... tubuh yang kau lubangi itu menyebut nama Tuhan pada sepenggal napas yang tersisa . Meski di tempat kau berada kini, Tuhan kerap tak digubris dan ditepis. Tubuhmu bergetar, suara-suara menggelegar. Petir mulai menyambar, hujan bukan lagi berderai melainkan tumpah ruah. Abeputra pun kuyup.

Engkau mulai menggigil, ketakutan. Berusaha keluar daari tubuh yang hidupnyatelah engkau renggut bagai parasit berlari dari inang. Namun tubuhmu sendiri sudah terperangkap dalam begitu dalam, sementara suara-suara samar mulai berubah menggelegar; suara-suara yang tak ingin engkau dengar.

"Lalu siapa engkau?" sesosok makhluk tinggi besar bersayap hitam menjulang di hadapanmu, di atas tubuh inangmu yang tergeletak bisu.

Engkau menggigi. "Saya.... saya..." geragap.

"Katakan siapa engkau!" gelegar.

Kau semakin menggigil. "Bukan salah saya, sungguh bukan salah. Setan-setan itulah yang memaksa saya bersarang di sini."

"Berani-beraninya kau menjelma aku, berani-beraninya kau!" petir menyambar.

Engkau genap menangis, meringis mengais-ngais ingatan apapun yang bisa dijadikan tamba. "Tuan oh Tuan yang perkasa. Ketahuilah Tuan, saya hanya sahaya. Tangan merekalah yang telah membuat saya sedemikian hina. Tuan, oh Tuan yang begitu gagah. Tolong keluarkan saya dari sini," kau mulai memohon.

"Orang ini, yang di dalamnya kau bersarang. Siapa dia?"

Kau kembali gagap. "Saya tidak tahu, Tuan. Ini pertama kali kami bertemu."

Ya, kau tak tahu siapa lelaki malang itu. Lelaki malang yang tidak pernah sekalipu menyangka akan menghembuskan napas terakhir disebabkan oleh gempurannmu. Lelaki malang yang mati bersimbah darah tanpa tahu kesalahan apa. Lelaki yang berada di tempat dan waktu yang salah ketika berbagai macam pertikaian menjelma menjadi kolam pembantaian.

Yang engkau tahu hanyalah malam tadi kau ditempatkan di dalam revolver seseorang, dibawa mengarungi malam. Engkau memasang kuping, ingin mencuri dengar apa-apa yang terjadi diluar. Di malam yang lain, enam kawanmu tercerabut dari sarang untuk berpindah ke tubuh-tubuh, menjelma Izrail; malaikat maut yang sekarang tengah kau hadapi.

Bagimu, terlepasnya tubuh dri kungkungan putaran besi adalah sebuah perjudian tanpa satu orang pun pemenang. Kau dan kawan-kawanmu tak dapat menerka, tak dapat mengira, selongsong siapa yang kelak muntah menyongsong darah. Sialnya, malam tadi adalah giliranmu.

"Cih, bangsat betul nasib kita. Hanya jadi budak-budak manusia bejat," kau merutuk, mengutuk.

Kawanmu yang lain, yang sedari tadi terkantuk-kantuk menunggu giliran terkekeh. "Terima sajalah nasibmu, kawan. Meski aku tak yakin yang membawa rumah kita ini manusia atau bukan. Jangan-jangan ini setan. Memangnya kau mau dengar dia dari tadi menggeram? Aku sedang membayangkan seekor makhluk bertanduk, berekor, bertaring, dan berkulit merah.

"Gila kau!" kata kawanmu yang lain lagi, yang selongsongnya begitu murung seakan-akan seluruh mendung di bumi bergelayut dipunggung. "Jangan bicara tentang setan. Apa kau tak tahu tempat macam apa ini?" Di sini, di pulau ini, segala macam barang tambang dikeruk dan diperdagangkan. Ini pulau yang kaya kawan. Semua orang pasti akan bahagia. Mana ada setan di tempat seperti ini?"

"Setan atau bukan yang membawa kita, aku ingin segera keluar dari sini. Kalian sudah dengar tentang enam kawan kita itu, kan? Kabarnya mereka dipakai untuk melubangi manusia-manusia tak berdosa. Di kepala, di dada, di mana saja," engkau bergidik ngeri.

"Pengecut kau!" hardik kawanmu yang paling berani. "Coba kau bayangkan kuasa apa yang ada di tanganmu. Kita memang selongsong kecil, tapi kita bisa menunggangi kematian. Kita adalah jelmaan Izrail, si malaikat pencabut nyawa itu," kawanmu menyeringai.

"Aku tak mau jadi Izrail!" Aku tak mau jadi apapun dan siapapun. Aku hanya ingin dikembalikan kepada ibu, dilebur jadi perkakas atau berakhir jadi barang bekas. Aku tak ingin berakhir di sini, di dalam revolver terkutuk ini," engkau meringis.

Sebelum kawanmu sempat menimpali, tubuhmu tetiba saja bergeletar,, kemudian engkau dipaksa lesat keluar ketika ketika sebuah telunjuk menarik pelatuk.

Dor!

Dan di sanalah engkau berakhir, di leher seorang lelaki malang yang napasnya telah sempurna hengkang.

"Dan kau sekarang berbangga diri karena telah menjelma menjadi aku?" gelegar itu lagi.

Engkau semakin kalut dan rasa takut. "Tidak, Tuan. Sungguh! Tak pernah setetes pun saya bermimpi untuk mengakhiri perjalanan saya seperti ini. Manusia malang ini pastilah korban juga, manusia tak berdosa yang tak tahu pertikaian macam apa yang sedang membara di sini, di pulau kaya raya ini."

"Tak ada manusia yang tak berdosa," ceceran hujjan terciprat ke tubuhmu ketika sosok di hadapanmu kembali bersuara.

"Ngggg.... begini maksud saya, Tuan. Manusia ini, ia hanya manusia biasa yang hidup, bekerja, bernapas, dan menjalani hari-harinya tanpa sedikitpun bersinggunngan dengan perkara setan-setan, bukan? Ia juga korban, sama seperti saya, bukan?" serangan gugup itu datang lagi. "Ah, Tuan. Anda tentu lebih tahu daripada saya mengenai ini. Bukankah menurut kabar yang saya dengar, ada enam manusia lain yang bernasib sama seperti manusia ini? Anda di sana juga, pasti Anda ada di sana."

"Sosok bersayap hitam itu terkekeh. "Tentu saja aku ada di sana. Kau pikir kawan-kawan busukmu itu bisa tanpa aku? Kalian hanya butir-butir bedebah, tak bisa berbuat apa-apa kalau aku tak turun tangan mengakhiri pekerjaan terkutuk yang kalian lakukan. Cih! Sebetulnya aku bosan, asal kau tahu."

Tuan, boleh saya minta tolong sesuatu?" hujan masih membasah, mencipta merah di tanah, bercampur darah.

"Apa itu?"

"Bisakah, Tuan. Sekali saja, berhenti bekerja dan tak menjadikan tempat ini neraka? Kasianilah saya, Tuan. Kasihanilah kawan-kawan saya kelak. Saya tak ingin nanti ada kawan-kawan saya yang berakhir dengan cara seperti ini; bersarang di tubuh yang tak berhak dan tak pantas untuk mati dengan cara semengerikan ini," engkau memohon. "Juga kasihanilah manusia-manusia di pulau ini."

Sosok di hadapanmu murung, langit malam yang kelam bertambah suram. "Ah kau ini. Andaikata saja aku bisa. Tapi siapalah aku ini."

"Tapi Anda adaala Izrailsang perkasa, malaikat pencabut nyawa," katamu, menengadah.

"hah, kau ini bodoh atau apa? Aku juga menjalankan titah."

Engkau terbengong-bengong. Bagaimana mungkin sosok yang sudah dianggap semacam dewa bagi kau dan kawan-kawanmu itu juga menjalankan titah? "Titah? Titah siapa? Jangan bilang kalau Anda juga budak setan yang karena tarikan tangannya di pelatuk itu maka saya berakhir di sini."

Suara gelak. "Kau memang benar-benar bodoh! Hahahaha... ya, aku tidak menyalahkan kalau selama ini kau memang tak tahu apa-apa karena selalu terkukung di dalam sarung-sarung. Eh, sekalinya keluar malah bernasib sial. Hahahaha...."

"Tuan, bisakah Anda berbaik hati menjawab saja pertanyaan saya? Titah siapakah itu?"

Sosok itu menengadah ke langit, menadah hamparan hujan. "Tuhan," jawabnya.

"Tuhan?" engkau mengerut. Mendengar nama yang satu itu disebut membuat tubuhmu seketika lisut. "Apakah itu nama yang tadi dirapal manusia malang ini?"

"Ya, kau benar. Keputusan apakah aku mencerabut hidup satu manusia tetap berada di tangan-Nya."

"Apakah Ia juga bisa mendengar percakapan kita?" engkau memandang berkeliling mencari-cari sosok Tuhan.

"Tentu saja Ia mendengar. Ah, kau ini memang bodoh ternyata."

"begini saja, Tuan. Riwayat saya sebentar lagi berakhir. Mungkin tubuh saya akan segera diangkat, diperiksa, dianalisa. Setelah itu mungkin saya tidak akan bisa kembali bersuara. Bisakah Anda berbaik hati menyampaikan ini kepada Tuhan?"

"Bicaralah!"

"Semenjak saya berada di sini, di dalam lehr manusia ini. Saya melihat begitu banyak hal indah. Pulau ini begitu melimpah dengan harta. Emas, uranium, dan harta-harta lain yang tidak bisa saya kenali. Manusia ini juga pergi kemari dengan berjuta harapan dan keinginan. Saya yakin ada banyak manusia lain yang memiliki harapan yang sama.

Saya tidak tahu, tidak mengerti hal seperti apa yang sedang dipertikaikan dan diperebutkan di pulau kaya raya ini, Tuan. Saya hanya memohon agar Tuhan kelak melindungi siapa saja dari amukan kawan-kawan saya demi tujuan bejat mereka. Kasihanilah mereka; manusia-manusia ini. Senantiasa lindungilah mereka. Bisakah Anda menyampaikan semua kata-kata saya barusan?"

"Tidak perlu. Ia sudah mendengar doamu. Tapi agar kau tak penasaran, iya nanti aku sampaikan."

"Doa? Makhluk macam apa pula it?"

"Haduh, aku capek bicara denganmu. Yang kau ucapkan sedari tadi itu adalah doa, tolol!"

"Apakah doa itu sesuatu yang baik?" kau mulai kebingungan.

"Sepanjang doa itu untuk kebaikan maka doa itu adalah baik."

"Apakah saya boleh berdoa agar setan-setan itu juga digiring ke neraka sekarang juga?" kau berharap-harap cemas.

"Ya ya ya... berdoalah sesukamu."

"Tuhan, menurut Izrail di hadapan saya ini, saya boleh berdoa apa saja. Tolong, jebloskan setan-setan yang berkeliaran di pulau ini ke neraka sekarang juga."

"Amin," ucap sosok bersayap hitamm itu.

"Hah, apa itu amin?"

"Kau ingin kita ngobrol di sini semalaman atau bagaimana? Aku banyak pekerjaan. Sudahlah, mari kita akhiri saja."

"Lalu bagaimana nasib saya, Tuan? Apakah Tuan sudah mencabut nyawa manusia malang ini?"

"Kau, tetaplah berdiam di situ sampai manusia lain menemukanmu. Dan ya, sudah sedari tadi aku mencabut hidup manusia malang ini. Kasihan dia kalau harus mendengar ocehanmu."

Kemudian sosok itu menghilang, ditelan malam, ditelan hujan.

Engkau terdiam, menatap malam, meneruskan rapal doa dalam gumam. (*)

-------------------------------------------------------------------
Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 7 Oktober 2012
-------------------------------------------------------------------

Jumat, 05 Oktober 2012

7 Hal yang Sebaiknya Tidak Dilakukan Setelah Putus

1. Jangan Mencoba Tetap Berteman
Jarang ada dua orang yang bisa membuat peralihan secara baik-baik dari kekasih menjadi teman, namun jika Anda akan melakukan hal tersebut, jangan mencobanya hingga luka yang ada terobati. Tetap berteman setelah putus membuat Anda tidak punya cukup kesempatan untuk melupakannya. Segera putuskan seluruh hubungan Anda, setidaknya hingga luka Anda terobati.

2. Jangan Kuntit Mereka di Twitter atau Facebook
Seolah-olah kita tidak punya cukup masalah yang dihadapi saat putus, kini kita hidup di sebuah zaman saat media sosial membuat segala sesuatunya menjadi lebih buruk. Duduk sambil memandangi profil Facebook mantan kekasih Anda merupakan sebuah kesalahan yang serius setelah Anda putus. Jika Anda merasa butuh untuk melihat profilnya secara diam-diam, barangkali menghapus akunnya dari semua situs media sosial Anda merupakan hal yang terbaik. Anda akan marah jika melihat mantan Anda memberikan tanda “like” pada foto wanita lain atau mengubah status hubungan mereka. Mengapa Anda menyiksa diri sendiri?

3. Jangan Melampiaskannya Dengan Minum Alkohol
Ketika kita merasa sedih dan melampiaskannya pada alkohol terkadang tampak sangat menarik. Namun, jangan lakukan hal itu — memadukan antara putus hubungan dan alkohol sama saja dengan mencampurkan susu dengan vodka, karena akan memunculkan sebuah kekacauan. Kemungkinan yang akan terjadi adalah, Anda akan mabuk dan kemudian akan melakukan kesalahan. Sebaliknya, kendalikan diri Anda dari dengan berada bersama teman dan keluarga yang bisa Anda lampiaskan perasaan Anda tanpa ada penilaian ataupun tanpa kehilangan kesadaran Anda.

4. Jangan Mencari Penggantinya Dulu
”Cara terbaik untuk melupakan seseorang adalah dengan orang yang baru.” Ini cuma mitos. Hati Anda kosong setelah ditinggalkan oleh pacar? Jangan coba mengisinya dulu. Anda perlu menunggu sampai luka itu sembuh alami, daripada mencoba untuk mencari penggantinya. Menggunakan orang lain untuk menggantikan posisi mantan pacar Anda tidak hanya tindakan yang egois, tapi juga kontraproduktif. Anda perlu mengatasi emosi Anda, namun dengan mencari pengganti kekasih Anda hanya akan memperpanjang rasa sakit Anda karena Anda tidak pernah benar-benar berdamai dengan perasaan Anda. Melakukan hubungan seks dengan orang lain juga hal yang tidak boleh dilakukan. Hal tersebut akan membuat Anda merasa diperalat dan malu.

5. Jangan Pernah Berpikir Bahwa Anda Akan Selalu Merasa Sedih
Ya, Anda menghabiskan 10 bungkus tisu dan Anda larut dalam air mata di depan kolega Anda lima kali pekan ini (dan itu hanya pada Senin pagi), tapi jangan khawatir. Sangat mudah memang untuk merasa Anda tidak akan pernah merasa bahagia lagi, tapi suatu saat Anda pasti akan bahagia. Setiap hari Anda akan mulai merasa semakin kuat hingga suatu hari Anda akan menyadari bahwa tidak lama lagi Anda akan merasa bebas dari mantan Anda.

6. Jangan Menghubungi Mantan Anda Untuk Alasan Apa Pun
“Aku harus mengingatkannya soal jadwal berobat ke dokter giginya”, “Aku harus bilang padanya bahwa anak kucingku baru saja bisa berjalan”.. Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak! Di masa yang rumit setelah putus seperti itu, Anda bisa saja duduk sambil mencari-cari alasan untuk menghubungi mantan Anda, namun sangat penting untuk tidak melakukan itu. Jika Anda berdua memutuskan bahwa berpisah adalah keputusan yang tepat, biarkan luka Anda terobati karena lambat laun Anda tidak akan tergoda lagi untuk menghubungi mantan Anda.

7. Jangan Biarkan Diri Anda Berlebihan
Putus merupakan alasan yang tepat untuk duduk sambil menikmati es krim dalam jumlah banyak, namun hal baik yang berlebihan tidak pernah bagus untuk Anda. Manfaatkan waktu Anda setelah putus dengan santai, jika sebelumnya Anda selalu berusaha tampil sempurna saat masih bersamanya. Namun jika Anda sudah merasa sudah makan berlebihan selama empat hari berturut-turut, itu mungkin sudah saatnya bagi Anda untuk mulai menjadi diri Anda sendiri. Pakai baju terbagus Anda dan keluarlah untuk bersenang-senang lagi.

Sumber: Yahoo SHE