Ini Cara yang Tepat Menyatakan Cinta

Tidak banyak perempuan yang berani untuk mengungkapkan perasaannya dan malah memilih untuk memendamnya entah sampai kapan. Sebenarnya, menyatakan cinta itu sah-sah saja selama anda menggunakan cara yang sopan dan tidak berlebihan.

Mengetahui Kadar Cinta Si Dia

Keingintahuan merupakan hal yang sangat wajar dalam kehidupan manusia. Keingintahuan dapat terkait dengan banyak hal dan salah satunya mengenai pasangan anda. Berikut beberapa tips untuk mengetahui kadar cinta si dia

Ada Banyak Cara Melupakan Mantan Pacar

Setiap hubungan percintaan pasti mengalami masa-masa yang sulit untuk bisa saling memahami perbedaan yang ada. Seringnya perbedaan tersebut malah membuat hubungan tersebut menjadi sangat buruk kualitasnya. Tidak jarang hal ini mengakibatkan putus cinta

Lewat Surat Cinta Bisa Lebih Ungkapkan Romantisme

E-mail, SMS, sampai instant messenger memang sangat mempermudah komunikasi kita dengan orang lain. Namun, ketika sedang menjalin kasih Anda pasti tak ingin menerima ucapan cinta melalui pesan singkat saja. Untuk mengatasi kebosanan dan membuat hubungan semakin romantis, tak ada salahnya untuk kembali menggunakan cara tradisional, yaitu surat cinta. Meski terbilang jadul, melalui surat cinta Anda bisa lebih puas mengungkapkan perasaan dengan kalimat yang lebih romantis. Apalagi jika surat itu Anda selipkan ke tangannya dilengkapi setangkai mawar merah.

Pada Bulan Merah Akankah Kau Pulang

Sampai penantian itu berbilang tahun --20 tahun hingga kini-- bagai kumbanng putus tali. Hilanng tanpa kendali. Andaikata pula ia tersesat, mestinya aku tahu di mana rimbanya. Kalaupun ia wafat, aku berharap tahu pula di mana tempat kuberziarah.

Doa Sebutir Peluru

Engkau teerdiam, bersarang di dalam leher seseorang setelah sebelumnya menerjang, berteriak garang. Engkau masih terdiam ketika leher yang kau lubangi itu mengucurkan darah merah, memulas tanah, mengguris hitam pada sejarah. Kemudian perlahan engkau meringis, mulai menangis, memaki segala macam tragedi sementara tubuhmu tak dapat bergerak, tetap berdiam di tubuh manusia malang itu.

Kamis, 11 Juli 2013

Santet Kelelawar Nyaris Membuatku Lumpuh

Santet Kelelawar Nyaris Membuatku LumpuhOleh: Usep M

Aku tidak tahu dari mana kelelawar itu datang. Namun akibat yang ditimbulkan sungguh membuatku teriksa. Bahkan aku nyaris lumpuh dan kehilangan segala-galanya.

• • • • • • • • • • • • • • •


Aku ingat betul, bulan itu adalah awal bulan suci Ramadhan waktu, awal bagi umat Islam di seluruh dunia untuk melakukan puasa dan menahan hawa nafsu, amarah, juga menahan rasa lapar dan dahaga selama satu bulan penuh. Di mana kebetulan juga malam itu jatuh pada malam Jumat Kliwon.

Seperti hari-hari biasanya, pada setiap pukul 02.30 WIB kebiasaanku adalah bangun dari tidurku untuk melaksanakan shalat malam, sunnah tahajjud juga shalat hajat. malam-malam yang tak pernah aku lewatkan untuk selalu berkomunikasi dengan Gusti Allah melalui shalat malam. Malam itu sebelum aku terbangun dari tidurku yang sangat lelap, aku bermimpi didatangi sesosok makhluk seperti seekor kelelawar besar dari atap kamarku.

Aku tidak tahu dari mana kelelawar itu datang, yang kulihat sepertinya makhluk itu akan menyerang tubuhku yang dalam keadaan sedang berbaring di tempat tdurku. Seketika aku tersentak dan terbangun, setelah aku sadari bahwa ternyata yang baru saja aku alami tadi hanyalah mimpi belaka, aku pun segera saja beranjak dari pembaringanku, melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Sesampainya aku di kamar mandi aku mengalami kejadian yang sangat aneh. Secara tak terduga tiba-tiba saja tangan kananku bergerak dengan sendirinya dan secara reflek ingin memukul wajahku sendiri. Dengan reflek pula aku segera menahan ayunan tangan kananku yang mengarah ke wajahku sendiri dengan tangan kiriku.

Aku segera keluar dari kamar mandi. Sesaat aku tak dapat berkata dan berpkir apa-apa, aku hanya diam tertegun dan dan ucapan Istighfar terus kulantunkan tanpa henti, sambil tak lupa juga aku memohon dalam hati kepada Allah SWT, agar aku dilepaskan dari kejadian aneh yang kurasakan saat itu.

Apa salah dan dosak, pikirku. Kubatalkan niat shalat tahajjud dan hajatku malam itu, karena terus terang aku saat itu jadi merasa benar-benar takut dan terguncang dengan kejadian yang baru saja kualami dan tidak masuk akal pikiranku. Bagaimana mungkin salah satu anggota tubuhku ingin menyakiti anggota tubuhku yang lain, sungguh sangat musykil hal itu dilakukan oleh orang yang dalam kesadaran penuh, tidak gila.

Kejadian terus berlanjut, bukan tanganku yang ingin memukul wajahku, tetapi, dimana keesokan harinya tubuhku tiba-tiba saja terasa sangat lemas, nyaris seperti tak bertulang. Namun demikian ku coba paksakan diriku untuk tetap bekerja pada hari itu. Aku tetap berjalan untuk bekerja ke kantor seperti kegiatan rutin setiap harinya.

Namun setibanya d kantor, kurasakan seluruh tubuhku semakin bertambah lemas saja dan seolah tiada daya sama sekali. Atasanku yang mengetahui dan melihat keadaanku saat itu, memberi saran kepadaku untuk segera memeriksakan diri ke dokter. Dia memberi ijin padaku untuk pulang saja guna berobat ke dokter, dab beristirahat beberapa hari sampai kondisiku sudah memungkinkan untuk kembali ke kantor dan bekerja seperti biasanya.

Tanpa buang waktu dan banyak pikir lagi, aku pun langsung kembali pulang ke rumah untuk kemudian pergi ke dokter praktek guna memeriksakan kondisiku yang semakin terasa lemas. Akhirnya hasil dari pemerksaan dokter itu, aku memang diharuskan istirahat total selama beberapa hari. Beruntung pimpananku di kantor sudah memberi ijin, jadi aku tidak perlu repot-repot lagi mendatangi kantor hanya sekedar untuk meminta ijin atasanku.

Aku pun mengambil kesepatan itu untuk pulang ke rumah orang tuaku agar dapat beristirahat dengan total sesuai yang dianjurkan dokter yang meemeriksaku. Setibanya di rumah orang tuaku, aku disambut dengan tidak kemengertian orang tuaku, kenapa aku kembali ke rumah mereka. Setelah kujelaskan semua keadaanku, dan mereka mengerti, aku langsung beranjak ke kamar tidur, dan langsung aku rebahkan tubuhku yang terasa lemas hingga aku tertidur.

Entah berapa lama aku tertidur, sampai beberapa waktu kemudian tiba-tiba saja aku terbangun, kejadian malam di rumahku terjadi kembali di rumah orang tuaku. jiwaku semakin terguncang, istriku yang kuberitahu keadaanku yang berada di rumah orang tuaku segera datang menjemputku, untuk kembali pulang ke rumah. Tapi kami sempatkan juga untuk mampir mengunjungi rumah orang tua istriku. Sore harinya aku pulang dengan berjalan kaki bersama istriku dan ditemani oleh adik iparku.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba di ujubg kakiku terasa seperti ada sesuatu yang masuk, entah itu apa, tak sempat aku lihat. Benda itu seperti berjalan terus menjalar sampai ke ujung kepalaku. Sampai akhirnya kurasakan mulutku tertarik ke kanan, mataku terbuka lebar dan tubuhku kejang-kejang.

Istri an adik iparku yang melihat semua itu haya bisa menangis, mereka tak tega melihat kondisi badanku seperti itu. Aku masih bisa mendengar biskan adik ipar di telingaku agar aku tetap membaca istighfar. Sedangkan istrku segera mencari kendaraan taksi, untuk membawaku ke Rumah Sakit Pelabuhan Cirebon.

Sesampainya di rumah sakit itu, aku langsung dimasukan ke UGD dan dengan cepat ditangani oleh seorang dokter perempuan. Saat itu telingaku masih mendengar suara tangisan istri dan adik iparku, dokter yang menanganiku membisikkan kalimat di telingaku untuk tetap mengucapkan istighfar. Alhamdulillah keajaiban terjadi, seketika itu mulutku kembali seperti semula, dokter yang menanganiku sangat senang dan tiada hentinya mengucapkan Alhamdulillah.

Namun selang beberapa saat aku kembali kejang, seperti sesuatu yang terus masuk ke dalam tubuhku terus saja berjalan, suntikan pun diberikan dokter. Terasa obat di tanganku mengalir, sepertinya suntikan itu adalah obat untuk meringankan kejang, lalu aku dibawa ke ruang perawatan.

Setiba di penbaringan kurasakan kepalaku terasa berat seperti terdapat batu yang besar menindih kepalaku, tangan kanan dan kaki kananku terasa lemas seperti tidak dapat digerakan. Keesokan harinya pengobatan dilanjutkan, aku dibawa ke ruang scan untuk dilihat apa penyebab sakit di kepalaku.

Saat itu aku ditangani oleh seorang dokter ahli saraf, hasil dari scan didapat, ternyata di kepalaku terdapat darah menggumpal yang menutupi otakku, sehingga otakku tak dapat berfungsi sepenuhnya. Teman-teman, saudara-saudaraku, semuanya hanya bisa melihatku dengan rasa iba dan sembunyi-sembunyi menangis melihat penderitaan yang ku alami.

Selama 11 hari aku merasakan sakit, tiba-tiba tingkah lakuku pun sepertnya menjadi aneh. Bicaraku sering ngelantur ketika ibuku menanyakan nomor telepon kantorku, aku lupa. Anehnya lagi pada setiap orang yang datang, ibuku selalu bertanya kepadaku "Siapakah ini yang bersama ibu, kamu masih kenal kan?" Aku tidak bisa langsung mengingatnya dan mengenali orang yang bersama ibuku itu. Aku selalu tidak bisa dengan cepat menjawab pertanyaan itu. Memori di otakku sepertinya telah sangat lambat bekerja. Dokter ahi saraf pun akhirnya menyarankan kepadaku untuk melakukan scan kembali.

Dari hasil scan ke-2 aku disarankan dokter untk operasi, karena pembuluh darah yang menggumpal dan menutupi otakku harus dibuang, keluargaku pun segera mengadakan musyawarah mengambil keputusan tentang operasi yang ddsarankan dokter. Dari hasil musyawarah, ternyata keluargaku menolak dilakukan operasi atas dirkiu, karena walaupun berhasil dalam operasi, tetap saja akan ada efek samping dari hasil operasi itu, yaitu aku bsa saja lumpuh. Apalagi dokter pun tidak bisa bertanggung jawab penuh atas hasil operasi hidup atau matku.

Tiba-tiba aku teringat akan uwakku di Desa Cikeleng, Kabupaten Kuningan. Aku minta kepada ibuku agar uwakku didatangkan ke rumah sakit, ibuku pun segera mengabulkan permintaanku dengan menelpon uwakku untuk dapat segera datang ke rumah sakit menemaniku. Tidak memakan waktu sampai sehari, hari itu juga uwakku datang dan melihat diriku.

Melihat kondisiku, uwakku lalu menyarankan agar aku segera dibawa pulang saja, karena menurutnya kondisi penyakit yang kuderita bukanlah penyakit medis, tetapi penyakit non medis. Penyakit yang tidak bisa disembuhkan dengan peralatan dokter secanggih apapun. Tapi saat itu kelargaku tidak begitu saja percaya dengan ucapan uwakku, dan mereka tidak mengijinkannya. Mereka mash tetap bertahan dengan penyembuhan dari dokter rumah sakit itu. Maka uwakku pulang kembali ke Cikeleng.

Malam berikutnya di rumah sakit, aku bermimpi bertemu dengan seorang kuncen, kuncen itu adalah kuncen Nabi Musa AS, beliau meminta kepadaku agar aku menemui Nabi Musa , aku berkata kepada kuncen bahwa aku tidak bisa berjalan, kuncen itu naik ke atas untuk memberitahukan kepada Nabi Musa.

Nabi Musa turun dari atas, beliau berkata kepadaku "Wahai kaumku ikutlah denganku."

"Aku menjawab, "Wahai Nabi aku tak bisa berjalan, tubuhku gemuk. Bagaimana aku bisa mencapai e atas sana?" Kemudian Nabi Musa mengangkatku seolah aku ini tidak mempunyai beban berat, lalu aku dibawanya ke atas. Di sana aku diperlihatkan sebuah mushala yang sangat indah, di sana kulihat ada empat orang yang sedang berdzikir dengan memakai sorban putih. Aku pun bertanya kepada Nabi "Wahai Nabi apa yang dlakukan orang-orang itu?"

Nabi lalu menjawab "Itulah kaumku yang kin menempati mushala ini. Apabila kamu mau, akan kujadikan kau kaumku juga." Aku membalas, "Wahai Nabi, jangan kau ambil diriku dulu, karena diriku belum sepenuhnya membahagiakan orang tuaku dan istri, di mana anakku juga masih berusia 9 bulan, masih sangat butuh kasih sayang seorang ayah. Aku mohon kepadamu ya Nabi."

"Baiklah kalau itu maumu hanya satu yang kuminta darimu, bisakah kau mempertahankan ibadahmu, agar engkau tidak terjerumus menjadi orang-orang yang tersesat. Kalau engkau masih bisa mempertahankan semua itu, kau akan tetap menjadi kaumku," kata Nabi.
,br ?"Insya Allah ya Nabi, aku akan mencoba mempertahankan ibadahku ini," jawabku. Lalu aku dibawanya berkeliling mushala. Betapa megahnya mushala ini. Tetapi aneh, mengapa di pojok mushala masih ada kayun yang keropos. Aku pun bertanya kepada Nabi.

"Ya Nabi mengapa mushala yang begitu megahnya, masih ada kayu yang keropos?"

"Itulah satu tugasmu untuk di dunia." jawab Nabi.

Aku kemudian dibawa kembali ke bawah, dan aku diturunkan, dan sekitak itu aku terbangun dari tidur lelapku.Anehnya aku merasa kondisi badanku saat itu terasa lebih fit. Lalu aku meminta kepada keluargaku untuk memintakan ijin agar aku bisa segera pulang. Keesokan harinya dari pihak keluargaku pun menghadap ke dokter yang selama ini menanganiku.

Tetapi dokter yang menanganiku, tidak mengizinkanku pulang karena mengingat kondisi fisikku, selain belum benar-benar pulih. Dokter spesialis saraf juga tidak mau bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu keadaku, jika aku melaksanakan kehendak untuk pulang ke rumah. Ditambah lagi karena mata sebelah kananku pun tidak bisa melihat, tapi aku dan keluargaku meyaknkan dokter, bahwa Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa pada diriku, karena aku begitu yakin kalau uwakku dapat membantu untuk proses penyembuhan selanjutnya.

Sebelumnya aku memang telah disarankan oleh uwakku untuk dirawat di rumahnya. Setelah memperoleh ijin doter dan aku bisa pulang, aku dan keluarga pun segera berangkat e rumah uwakku di Cikeleng. Di rumah uwaku akupun mulai menjalani pengobatan lanjutan, dimana pada setiap malam, setiap pukul 01.00 WIB aku dibawa oleh uwaku ke makam buyut, makam keramat di Desa Cikeleng. Lokasi makamnya di tengah-tengah hutan, aku di sana berdzikir dengan uwaku dari pukul 01.00-03.00 WIB.

9 hari kemudian, malam itu malam Jumat Kliwon, aku disuruh untuk beristirahat oleh uwaku dari kegiatan melaksanakan dzikir dari pukul 01.00-03.00 WIB. Malam itu, tepatnya pukul 23.00 WIB, aku mendengar suara kroncongan kuda yang sedang berlari memutari rumah uwaku. Aku penasaran dengan suara itu, lalu beranjak ke tepi jendela, kulihat dari balik gorden jendela yang kusingkap, tapi tak tampak apapun di luar sana.

Akhirnya untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku pun keluar, ternyata kulihat uwa perempuan ku sedang melakukan semedi, dan uwaku yang laki-laki, seperti sedang melakukan sesuatu. Uwaku terkejut melihatku, aku disarankan untuk masuk kembali. Sepertinya mereka sedang melakukan ritual yang sangat serius. Tepat jam 24.00 WIB pada jam dndingku di kamar, aku mendengar seperti ada orang yang sedang berkelahi, aku hanya mendengarkan saja dari kamarku, tidak berani untuk melihatnya, sampai akhirnya tanpa aku sadari, aku tertidur.

Keesokan harinya jam 10.00 pagi, ketika aku ingin mandi dan aku membuka bajuku, istriku melihat dipundakku seperti ada bekas telapak tangan. Ketika istriku menanyakan kenapa, aku pun tidak tahu dan tidak dapat menjelaskan ada apa sebenarnya pada pundakku.

Lalu aku pun keluar kamar dan menanyakan kepada uwakku. Uwakku hanya diam tidak memberi jawaban, dia hanya meminta aku berbalik membelakanginya, dan dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an dan kemudian ditiupnya bekas telapak tangan yang ada dipundakku. Seketka bekas telapak tangan dipundakku itu hilang dengan sendirinya. Aku meraba keningku, karena terasa seperti ada yang mengganjal, kutarik, ternyata di keningku ada kain kafan, kemudian kuraba pipiku yang seperti ada sesuatu juga, lalu kutarik dan ternyata ada sebuah jarum. Uwakku yang melihat itu semua hanya tersenyum, dan ia berkata bahwa hal itu semua pertanda ada kemajuan dalam pengobatan sakitku, dan uwakku bilang, tidak sia-sia selama 9 hari dia melaksankan ritual.

Kini mata sebelah kananku mulai membaik dan bisa melihat, kakiku pun yang terasa lemas beberapa hari lalu sudah mulai ada kekuatan dan aku sudah bisa berjalan kembali walau kulakukan masih perlahan-lahan. Tak kepalang betapa bahagianya keluargaku melihat kemajuan yang kudapat, maka sre itu pun kami mengadakan syukuran, dengan mengundang tetangga dekat, bersyukur bahwa diriku bisa terlepas dari pengaruh mistik yang entah siapa yang sudah berbuat setega itu padaku.

Kini tinggal sisa-sisa penyakit yang ada pada dirku, aku sudah berangsur pulih seperti sedikala. Lalu aku pun di anjurkan uwakku melakukan kontrol setiap minggu. Pada kesempatan lain aku yang merasa penasaran dengan penyakitku, dan ingin sekedar tahu saja siapakah yang dengan tega berbuat hal itu pada diriku, aku tanyakan hal itu kepada uwakku.

Jawabnya sungguh sangat mengherankan, menurut uwakku, aku terkena serangan santet yang sangat ganas, di mana menurut uwakku lagi semua itu adalah karena perbuatan teman sekantorku yang merasa iri karena aku dekat dengan atasanku. Mengetahui hal itu aku hanya mengucap sykur kepada Gusti Allah, bahwa aku masih dberi kesempatan untk sembuh. Aku pun berjanji dalam hati, bahwa aku tidak akan menaruh dendam pada teman kantorku itu, sesuai yang dsarankan uwakku juga. Dendam adalah perbuatan yang sangat menyakitkan di hati. Semua hanya kepasrahan kepada Gusti Allah. Semoga teman kantorku itu dberi kesadaran Gusti Allah untuk tidak berbuat hal yang sama pada orang lain. (*)

Sumber: Mistri Edisi 561 Tahun 2013

Senin, 08 Juli 2013

Tubuh Kurus Kering Akibat Menyusui Tuyul

Tubuh Kurus Kering Akibat Menyusui TuyulOleh: R. Mujiati

Makam Ngujang, Tulungagung, Jawa Timur, sudah lama dikenal sebagai tempatnya orang memuja pesugihan tuyul. Ini adalah kisah seorang penganut pesugihan di tempat ini yang tubuhnya kurus kering akibat menyusui tuyul yang dipeliharanya. Dialah Srikaya

Di zaman serba materialistik ini, orang terkadang rela melakukan apa saja. Tak peduli, jalan yang ditempuh sesat atau hitam, yang penting baginya adalah bisa hidup enak dan mewah. Namun apalah arti hidup bergelimang harta jika didapat dengan cara yang tidak halal. Apalagi jika dikemudian hari harta yang melimpah itu akan menyiksa lahir batin tanpa batas waktu.

Sebut saja namanya Srikaya, meski di masa mudanya kaya raya, ia tidak terlihat sumringah atau segar bila dipandang mata. Padahal ia sebenarnya bisa makan enak, membeli berbagai macam pakaian dan perhiasan bisa dilakukan dengan mudah. Namun, di usianya yang belum tua, ia justru terlihat ringkih seperti orang yang tengah sakit-sakitan. Perihal itu, tidak banyak orang yang tahu jika ia sebenarnya penganut pesugihan sejenis tuyul yang setiap malam minta disusuinya.

Pada saat di hari tuanya, bahkan Srikaya terlihat semakin renta saja. Tak hanya tubuhnya, penglihatan dan pendengarannya juga tidak begitu jelas. Karena itu jika berbicara dengannya harus ekstra keras yang disertai dengan menggunakan bahasa isyarat untuk memudahkan wanita tua ini menangkap maksud pembicaraan. Kini di hari tuanya, Srikaya hidup sebatang kara si sebuah desa di Tulungagung, yang berbatasan dengan Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Penulis mengetahui keberadaan Srikaya dan jauh-jauh datang ke tempat tinggalnya setelah seorang rekan mengirimkan sebuah pesan yang isinya cukup menarik untuk ditelusuri. Yakni mengenai kehidupan wanita ini yang katanya pernah menganut sebuah pesugihan tuyul yang diperolehnya di daerah Tulungagung, yakni di Makam Ngujang , Ngantru.

Tapi, saat Srikaya ditemui penulis, ia mulanya menolak permintaan mengobrol mengenai masa lalunya yang kelam tersebut. Berkali-kali ia mengatakan bahwa itu masa lalu, tidak perlu diingat-ingat lagi. Seorang rekan yang sudah beberapa kali mengunjungi nenek tua ini mengatakan bahwa harus cukup sabar untuk bisaa menggali cerita darinya.

Rekan yang mantan wartawan itu sebenrnya sudah banyak menggali informasi mengenai masa lalu nenek tua itu. Tapi, untuk meyaknkan penulis, ia minta untuk menanyakan sendiri atau barangkali ada data-data yang masih kurang lengkap untuk digali lagi dari nenek Srikaya tersebut.

Menurut rekan yang mantan wartawan itu, Srikaya terpaksa melakukan pesugihan tuyul sebab hidupnya selalu didera kemiskinan. Kakek neneknya miskin, begitu juga ibu dan bapaknya. Bahkan ketika Srikaya muda ini menikah ia justru mendapatkan seorang suami yang berasal dari keluarga miskin. Yang lebih menyakitkan, suaminya itu ternyata seorang pemalas dan suka main judi. Perihal hobi suaminya ini, Srikaya sering dibuat sakit hati. Tak hanya sakit hati akibat jarang diberi uang belanja, uang hasil kerjanya sendiri terkadang masih saja dirampasnya.

Konon, karena gelap mata jarang diberi nafkah, bahkan mungkin dalam beberapa minggu tidak pernah dikasih uang belanja oleh suaminya, Srikaya mendatangi Makam Ngujang, yang ada di Kecamatan Ngantru, Tulungagung, yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Untuk itu, ia harus terpaksa menitipkan anak laki-lakinya yang baru berumur sekitar sembilan tahun pada orangtua kandungnya.

Mulanya, ia tak bermaksud untuk memuja pesugihan. Ia hanya ingin datang saja ke makam itu, setelah mendengar cerita dari orang-orang bahwa sudah banyak yang berhasil setelah berziarah ke situ. Selain itu, ia mengaku lebih tenang saat berada di makam itu. Ia seperti menemukan tempat yang damai di situ. Entahlah, apakah karena pengaruh kekuatan gaib yang ada di situ atau memang akibat suasana yang memang mendukung, yakni sejuk sebab banyak pepohonan yang ada di tempat itu.

Tak sekali saja Srikaya mendatangi makam itu. Srikaya sendiri lupa sampai berapa kali mendatangi makam itu, mungkin pula sudah berkali-kali. Meski sudah sering mendatangi makam itu, namun tidak ada tanda-tanda apa yang menjadi keinginannya akan bisa terkabul. Ia masih sering kekurangan dan pekerjaannya yang serabutan masih pula dijalaninya.

Sampai pada suatu malam, setelah siangnya baru mendatangi Makam Ngujang, dalam tidurnya Srikaya didatangi seorang anak gundul yang ingin kut dengannya. Karena merasa kasihan, Srikaya akhirnya menuruti keinginan anak kecil yang berkepala plontos itu.

Namun, di tengah jalan bocah itu minta air susunya. Srikaya mengiyakan begitu saja, tapi saat bocah itu menyedot air susunya, bocah tersebut seperti tidak ada habis-habisnya meminumnya. Karena merasa sakit, Srikaya akhirnya terbangun dari tidurnya. Srikaya kaget, sebab mimpi itu seperti nyata. Mimpi itu katanya jelas sekali, sampai-sampai ia gemetaran dan tubuhnya berkeringat dan keadaannya berantakan seperti orang yang memang baru saja menyusui anaknya.

Besoknya, Srikaya kembali bermimpi. Tapi, kali ini mimpinya didahului dengan menyusui anak kandungnya sendiri, tapi saat itu tiba-tiba ada bocah lain yang ingin menyusu padanya. Berkali-kali Srikaya mimpi seperti itu. Sampai akhirnya ia sendiri yakin jika ada makhluk lain yang mengikutinya, yakni makhluk gaib kecil ang brtelanjang dan berkepala plontos, yang mungkin sejenis tuyul.

Jika sebelumnya bocah gundul itu datang seperti dalam mimpi, kini Srikaya mengaku melihat dengan jelas kelebatnya. Bahkan terkadang, ia seperti mengintip atau memperhatikan Srikaya. Ia seperti tahu dan mendengarkan apa-apa yang diucapkan Srikaya. Pada saat itulah Srikaya iseng-iseng menyuruhnya melakukan ini dan itu dan ternyata bocah itu menurutinya. Perintah ini dan itu, salah satunya adalah mencarikan Srikaya uang yang entah uang itu didapatnya dari mana oleh bocah gundul itu. Mungkin juga mencuri milik orang-orang kaya. Meski begitu, katanya uang yang diperoleh bocah itu tidak pernah banyak, hanya beberapa lembar uang puluhan ribu. Meski begitu, hampir tiap hari Srikaya mendapatkannya.

Menurut Srikaya yang pernah diceritakan pada rekan yang mantan wartawan itu, semua itu berjalan seperti mimpi. Tidak ada perjanjian gaib antara dirinya dengan makhluk gaib penunggu makam Ngujang atau bahkan dengan bocah gundul tersebut.

Sejak itulah, tak butuh waktu lama, kehidupan wanita itu berangsur-angsur membaik. Ia tidak lagi menjadi buruh serabutan. Ia mulai membuka usaha kecil-kecilan. Dari usaha kecil-kecilan yang dirintisnya di pasar, yakni berjualan alat-alat dapur, usaha wanita itu cepat sekali perkembangannya. Sampai akhirnya Srikaya mempunyai stand di pasar yang dibeli dari uang tabungannya. Anehnya, jumlah tabungannya itu lebih besar dari perkiraannya. Mengenai hal itu, mungkin uang itu ditambahi dari makhluk kecil yang gundul tersebut.

Tak hanya sekedar punya, lambat laun kehidupan Srikaya benar-benar bergelimang harta benda. Dengan kekayaan itu, Srikaya sebenarnya bisa melakukan apa saja. Membeli pakaian yang bagus, perhiasan, makanan yang nikmat dan lezat, dan berbagai hal yang menyenangkan. Tapi, ada pandangan yang sungguh-sungguh mengiris hati, yakni meski bisa makan enak, pakaian mewah dan memakai perhiasan yang mahal, aura wajah Srikaya tidak menampakkan suatu yang membahagiakan. Wajah wanita itu redup, seperti ada sesuatu yang menutupi.

Tubuhnya kurus kering seperti orang yang sedang menderita sesuatu penyakit tertentu, tidak ada yang tahu jenis penyakit apa yang sedang diderita wanita ini. Meski begitu ada isu yang mengatakan jika wanita ini setiap malam menyusui makhluk gaib yang bernama tuyl. Karena disedot oleh tuyul yang minumnya banyak inilah wanita ini badannya kurus kering.

SEpuluh tahun berikutnya, setelah Srikaya mendapatkan kekayaan seperti yang menjadi keinginannya, cobaan itu mulai datang menerpa. Suaminya yang pemalas dan hobinya yang hanya main judi, selingkuh dengan wanita lain. Padahal uang untuk judi dan selingkuh itu justru didapatnya dari memeloroti atau diam-diam mengambil dari usaha istrinya. Srikaya yang marah dan menganggap lelaki itu tidak tahu diri akhirnya menceraikannya.

Setahun berikutnya, cobaan itu datang lagi, anak tunggalnya yang menginjak remaja mengalami kecelakaan di jalan raya sampai akhirnya meninggal seketika di tempat kejadian perkara. Ditinggal suami, wanita ini pada waktu itu masih bisa menahan kesedihannya. Tapi, kehilangan anak tunggalnya, sampai berbulan-bulan lamanya Srikaya tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.

Lamban laun namun pasti, kekayaan wanita itu mulai merosot sedikit demi sedikit. Usaha perdagangan yang dilakukannya banyak mengalami kendala dan akhirnya menemui kegagalan. Kepada rekan yang mantan wartawan itu, Srikaya sempat mengaku jika ia sama sekali tidak ada perjanjian gaib dengan penunggu makam Ngujang mengenai tumbal atau lain sebagainya. Srikaya sendiri tidak tahu, apakah meninggalnya anaknya akibat diambil penguasa gaib Makam Ngujang sebagai tumbal atau memang murni kecelakaan.

Meski tak juga mau bercerita panjang lebar mengenai masa lalunya pada penulis, wanita ini sempat juga mengaku jika ia tidak mau lagi didatangi bocah gundul yang menurut perkiraannya jelmaan tuyul itu. Ia tobat dan ingin meninkmati masa tuanya yang mungkin sebentar lagi akan diambil oleh Yang Maha Kuasa untuk hal-hal yang lebih bak lagi.

Baginya, sekarang ini harta benda tidak ada harganya. Sebab, selain tdak bisa menikmatinya, kekayaan itu tidak ada artinya jika ia hanya hidup sendiri dan keluargannya telah meninggalnya.
Sepulang dari menemui Srikaya, penulis sempat mampir di kompleks Makam Ngujang, Ngantru, Tulungagung. Sebuah makam yang dinaungi cungkup menyerupai rumah terlihat cukup dikeramatkan di antara makam-makam yang lain. Makam itu terkunci dan untuk memasukinya harus ijin juru kuncinya.

Sementara itu, di kompleks makam, di antara batu-batu nisan dan dahan-dahan pohon, puluhan kera atau monyet sibuk bergelantungan, bahkan terkadang mendekati orang yang sedang berziarah di makam ini. Konon, kera-kera ini adalah jelmaan para penganut pesugihan yang telah habis masa kontraknya. (*)

Sumber: Misteri Edisi 561 Tahun 2013

Minggu, 26 Mei 2013

Kembang Bernyanyi

Cerpen: Dadang Ari Murtono

Percayakah kau bila di dunia ini ada kembang yang ketika kuncup berwarna merah, semerah darah, dan perlahan-lahan, seiring dengan membukanya kuncup itu menuju sekuntum kembang yang mekar sempurna, warna merah itu luntur. Luntur dengan cara menetes. Serupa airmata yang menetes. Dan bersamaan dengan tetesan itu, akan kau dengar suara nyanyian yang menyayat. Nyanyian yang kadang lebih mirip suara tangisan. Itlah sebabnya, kemnbang yang ketika telah sempurna mekar berwarna putih itu, dinamakan kembang bernyanyi. Kembang yang akan segera layu dan luruh setelah warna putihnya memucat serupa wajah orang mati, lima menit seusai warna merahnya benar-benar tak ada.

Riwayat tentang kembang bernyanyi itu adalah sebuah riwayat tentang cinta yang tidak beruntung. Cerita tentang seorang pemuda yang menimpan cinta kepada seorang gadis. Gadis yang bagi si pemuda--seperti lazimnya orang yang jatuh cinta--adalah gadis paling cantik yang pernah ia lihat. Si pemuda merasa, dengan kecantikan si gadis, semua lelaki akan menyukai si gadis.

Bertahun-tahun si gadis menunggu Bertahun-tahun ia tetap terbangun di pagi hari dan mendapati sebuah kertas bertuliskan puisi dengan tulisan "ai" di akhir puisi di depan pintu rumahnya.

Secarik kertas dengan puisi-puisi cinta yang ditujukan kepada si gadis tetap didapati si gadis. Dan itu benar-benar mengherankan. "Bagaimana cara si pengirim puisi ini menaruh kertas ini tanpa sepengetahuanku? Padahal aku telah semalam berjaga mengintip dari balik jendela ini," itulah pertanyaan si gadis yang tidak pernah mampu ia jawab.

Sungguh, si gadis begitu berbahagia dan merasa teramat beruntung dicintai oleh seorang malaikat. Dan ia yakin, malaikat yang ia tunggu itu, yang mencintainya itu, suatu saat akan muncul menemuinya.

"Aku akan menunggu. Hanya dengannya aku akan menikah. Dan hidup bahagia selama-lamanya," gadis itu bersumpah.

Bertahun-tahun si gadis menunggu. Dan malaikatnya tidak juga muncul. Usianya merangkak semakin tua. Dan orantuanya mulai resah.

"Apalagi yang kau tunggu?"

"Aku menunggu malaikat yang mengirimku puisi-puisi ini. Hanyan dengannya aku akan menikah," demikian si gadis menjawab. Dan hal itu semakin membuat orang tuanya resah.

Orangtuanya memang paham benar perihal kertas-kertas bertuliskan puisi yang tiap pagi didapati putri mereka di depan pintu rumah. Dan hal itu juga membuat mereka penasaran. Seperti putri mereka, mereka juga berulang berusaha mengintip semalaman dari jendela untuk memergoki siapa gerangan pengirim puisi-puisi itu. Namun nasib mereka tidak berbeda dengan nasib putri mereka: usaha mereka tidak membuahkan hasil!

"Anak kita bakal jadi kembang bibir orang-orang. Apa yang lebih menyakitkan dari orangtua seorang gadis selain mendengar olok orang-orang bahwa anak mereka telah jadi perawan tua? Gadis yang tak laku?" demikian bapak dan ibu si gadis gelisah.

Si pemuda yang yang merasa begitu patah hati, dalam rangka untuk melupakan sakit hatinya itu, konon, dalam suatu pagi bergerimis, pergi meninggalkan kota kecamatan kecil tersebut. Pergi berjalan sambil menunduk. Gerimis membuat jalanan sepi dan tidak ada orang yang berpapasan dengannya sehingga tidak pula ada yang tahu kalau sepanjang jalan, ia tak henti-hentinya menangis. Menangis sambil menggumamkan puisi-puisi cinta cinta yang pernah ia kirimkan ke gadis. Dan selain puisi-puisi itu, ia gumamkan pula kalimat: ai... ai... cinta... cinta... aiku... aiku... cintaku... cintaku...

Si pemuda tak menoleh ke belakang. Dan tak pernah kembali ke kota kecamatan kecil itu. Tidak ada yang tahu engan pasti riwayat si pemuda kemudian.

Ada yang mengatakan bahwa pemuda itu mati lima hari kemudian dalam perjalanannya karena selama berjalan, ia tidak mau makan dan minum. Namun ada juga yang mengisahkan si pemuda di kemudian hari menjadi penyair cinta besar di kota besar yang selama sisa umurnya hidup sendirian dan menerbitkan serial puisi-puisi dengan judul Aiku. Dan karena buku itu tidak pernah ditemukan, maka cerita itu juga tidak dapat dijamin kebenarannya.

Ya. Si gadis yang dijodohkan paksa itu tiba-tiba jatuh sakit. Sakit yang misterius. Sakit yang tidak bisa dijelaskan apa sakitnya. Dokter dan tabib paling handal telah didatangkan dan tetap tak ada yang bisa menjelaskan apa sakit si gadis dan bagaimana cara mengobati penyakit itu. Si gadis hanya bisa terlentang di ranjangnya. Terlentang terpejam serupa orang yang tengah tidur. Sepanjang hari seperti itu. Dan mulut si gadis, terdengar gumam: ai... ai... ai...

Tidak ada yang tahu apa arti gumam itu. Gumam yang bila didengar berulang-ulang menjadi mirip nyanyian. Nyanyian yang begitu menyayat hati.

Dan menurut si empunya cerita, si gadis tidak bangun lagi. Tubuhnya pelan-pelan berubah menjadi tanah. Serupa mayat yang berubah menjadi tanah. Dan dari tanah itu yang berasal dari tubuh si gadis, menyembullah kuncup-kuncup tumbuhan. Tumbuhan kembang. Kembang yang kini disebut orang sebagai kembang bernyanyi.

Kembang yang ketika kuncupnya berwarna merah. Serupa merahnya gairah semangat remaja yang meruap-ruap. Dan seiring mekarnya kuncup itu, warna merah itu menetes. Menetes serupa darah. Menetes sambil mengeluarkan nyanyian yang menyayat seperti tangisan. Nyanyian yang berbunyi: ai... ai... ai...

Dan bagi penduduk asli daerah yang dulu bernama Ngudi Lor itu, bila ada yang bertanya kenapa kembang itu hanya sebentar mekar, mereka akan menjawab: gadis itu juga mekar sebentar ebelum kemudian mati terlalu dini. Mati karena cinta yang aneh. Dan bila ada yang bertanya kenapa kembang itu hanya bisa tumbuh di sana, maka mereka akan menjawab: karena di sanalah tubuh si gadis berubah menjadi tanah.

Tentu saja kau bisa meragukan cerita ini. Toh, sampai sekarang, para ahli masih melakukan penelitian tentang kembang itu. Mreka tengah berusaha mengklarifikasikan kembang itu, merembugkan nama ilmiahnya, dan berusaha mencari cara membudidayakan kembang itu di tempat lain (*)


Senin, 04 Maret 2013

Menguak Danyang Kampung Ular

Oleh: Suryadi Bejo

Ketika tangannya terulur hendak memetik cabe, tiba-tiba muncul ular kepala dua yang cukup besar. Ular di Kampung Cabean ini tetap menyimpan dendam pada lurah setempat sehingga tidak ada yang berani datang ke Kampung Cabean!

* * * * * * * * * * * * * * *

Jumadi (57), seorang petugas penjaga kantor Desa Jetis, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, sudah bertahun-tahun tinggal bersama istri tercintanya di rumah dinas tukan kebun desa. Walaupun sudah hampir berumur 60 tahun, namun pasangan ini tetap saja tampak hidup rukun dan sepertinya tidak pernah ada kekurangan.

Mereka juga mampu mendidik dan membimbing anak-anaknya hingga mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dibanding mereka, orang tuanya. Banyak warga sekitar yang merasa iri dan sering bertandang ke rumahnya walau hanya untuk bertukar pengalaman soal hidup dan kehidupan.

Dari Mbah Jumadi ini pula Misteri banyak mendapat cerita tentang Kampung Cabean, yang masuk ke wilayah Desa Jetis, yang konon dihuni ribuan ular sehingga dijuluki sebagai kampung ular.

Awalnya, Kampung Cabean hanyalah berupa gundukkan tanah yang berada di tengah sawah sehingga saat itu belumlah bisa disebut sebagai kampung. Di situ hanyalah terdapat tanaman liar yang banyak tumbuh di tempat itu. Warga sekitar juga tidak ada yang berani untuk menjamahnya, itu karena keangkerannya. Karena setiap ada orang yang akan masuk ke lokasi itu, maka dia akan mengalami fenomena yang aneh dan menakutkan.

Sebab itu ada keyakinan di kalangan para warga, pada gundukkan tanah yang lazim orang sebut gumuk itu, biasanya dihuni piaraan makhluk gaib, lengkap dengan kepalanya atau komandannya. Di gumuk itu juga banyak tanaman cabe rawit, meski tidak ada satu pun warga yang menanamnya. Tanaman itu tumbuh dengan subur seolah ada yang merawatnya.

Suatu saat petani yang ingin mencoba memetik cabe-cabe di situ. Sebab dilihatnya, cabe-cabe digumuk itu tersebut besar-besar dan sudah ramun, sudah waktunya dipanen. Namun baru saja tangannya terulur hendak memetik cabe itu, tiba-tiba saja muncul ular yang cukup besar, namun tidak terlalu panjang, hanya sekitar satu meteran.

Dan yang membuatnya sangat ketakutan, ular itu berkepala dua! Pada setiap kepala dan ekornya dihiasi warna merah. Itulah yang disebut sebagai ular cabe. Ular jenis ini dikenal sangat mematikan. Siapa saja yang terkena patuknya, dipastikan akan meninggal dunia karena bia ular cabe sulit ditawarkan dengan obat apapun.

Melihat kemunculan ular tersebut, si petani merasa sangat ketakutan sehingga ia tidak jadi memetik cabe-cabe itu dan langsung saja pulang ke rumah. Berita soal kemunculan ular berkepala dua dimana pada kepala dan ekornya dihiasi warna merah lantas saja tersiar kemana-mana. Dan sejak saat itu gumuk di tengah sawah tersebut dikenal dengan nama gumuk cabe.

Setiap kali ada yang membicarakan gumuk cabe, pasti akan langsung terbayang kekhawatiran dan ketakutan di wajah penduduk setempat. Bukan saja hanya soal ular kepala dua yang mereka takuti, namun juga kepada sang 'pemilik' ular tersebut. Sebab ada kepercayaan di kalangan masyarakat bahwa ular-ular yang terbilang langka dan aneh tersebut pasti ada pemiliknya, yang sudah pasti mereka berasal dari makhluk gaib.

Namun setelah bertahun-tahun kemudian, ada seseorang yang bermaksud hendak mengubah bentuk gumuk itu untuk dijadikan sebuah kampun. "Saya sudah lupa nama seseorang itu. Tapi yang pasti dia memiliki ilmu spiritual yang sangat tinggi. Bisa disebut beliau semacam orang pintar, begitu. Dia bisa melihat dan mampu berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib," papar Mbah Jumadi.

Pada malam Jumat Kliwon, dia mulai memasuki lokasi itu tanpa seorang pengawal pun bersamanya. Pada saat itu dia hanya membawa sebuah keris pusaka dan sebungkus bunga beserta kemenyan. Dia langsung masuk lokasi, dan langsung menuju ke sebuah tempat yang pada siang harinya sudah dibersihkan terlebih dahulu. Di tempat itu dia lantas saja melakukan ritualnya.

Warga yang kemudian mengetahui ada orang yang dengan beraninya masuk ke Gumuk Cabe, lantas saja berkerumun dan ingin menyaksikan walau dari jauh dengan penuh tanda tanya. Meski banyak di antara mereka yang kagum dengan keberanian orang tersebut, namun tidak sedikit juga warga yang merasa was-was karena takut ritual yang dijalankan orang tersebut gagal dan sudah pasti akibatnya akan menimbulkan amarah penghuni Gumuk Cabe, makhluk penunggu Gumuk Cabe akan marah sehingga bisa saja menyerang warga secara membabi butaa.

Selang beberapa saat, warga mencium wewangian yang berasal dari hasil pembakaran kemenyan. Apa saja yang dilakukan orang itu, selanjutnya tidak ada yang mengetahui dengan pasti. Hanya saja warga sempat mendengar seperti ada rombongan yang tengah berbaris menuju gumuk itu. Mereka membawa tandu.

Ketika sampai di Gumuk Cabe, pembawa tandu terjatuh karena terantuk batu. Tandu itu rusak, dan sebuah kaki tandu itu patah. Namun insiden itu sepertinya tidak terlalu dihiraukan para rombongan itu. Rombongan itu pun segera melanjutkan perjalanan mereka tanpa mengambil patahan kaki kursi tandu itu. Dan patahan kaki kursi itu tandu itu atau batang tersebut samapi sekarang masih tertanam di lokasi yang saat ini dimiliki Diri (54), warga Kampung Cabean tersebut.

Setelah melakukan ritual, orang tersebut kemudian membuat gubuk sebagai tempat tinggalnya. Dan kini setelah beberapa tahun kemudian, Kampung Gumuk Cabe sudah dihuni oleh delapan kepala keluarga yang mendiami delapan rumah. Namun untuk ketentraman warga berbagai pantangan pun diterapkan secara ketat kepada para penghuninya. Misalnya, tidak boleh membuat lubang sampah terlalu dalam.

Jika hendak membuat sumur, maka harus diberi pagar. Dan satu hal yang pasti adalah warga setempat tidak boleh dan diperkenankan untuk membunuh ular dengan suatu alasan apapun. Andai ada yang berani melanggar pantangan itu, maka mereka akan menerima dampaknya. Biasanya orang yang melnggar pantangan itu, kalau tidak sakit menahun, pasti akan meninggal secara mendadak.

"Rupanya dulu orang piintar yang pertama masuk ke Gumuk Cabe itu, sempat bertarung mati-matian dengan ular besar di situ, mungkin komandannya. Meski dia telah berhasil memenggal kepala ular itu dengan keris saktinya, namun pada saat-saat tertentu potongan tubuh ular tersebut itu bisa menyatu kembali," papar Jumadi.

Perihal adanya ular besar yang melingkar di Gumuk Cabe yang saat ini telah berubah menjadi Kampung Cabean, bukan cerita baru. Dan sudah banyak petani setempat yang melihat ular tersebut. Mereka-mereka yang melihat umumnya akan langsung kabur karena tidak ingin trkena sesuatu hal.

Namun ada satu fenomena lain yang menarik dan terus terjadi hingga saat ini. Dimana, jika ada lurah atau kepala desa yang berpidato di Kampung Cabean, dipastikan sang kepala desa akan jatuh tersungkur sebelum selesai berpidato. Kejadian ini sudah berulang kali terjadi.

Dari hasil penerawangan orang pintar diketahui, rupanya yang dulu masuk ke Gumuk Cabe dan melakukan ritual hingga hingga Gumuk Cabe bisa ditempati, bahkan sampai memenggal komandan ular, ternyata adalah seorang lurah. Tidak heran jika samapi saat ini ular-ular di Kampung Cabean memiliki dendam yang begitu besar dengan lurah.

Akibatnya, hingga saat ini tidak ada lurah atau kepala desa yang berani datang ke Kampung Cabean. Jika lura Jatis mendapat undangan ke Kampung Cabean atau ada warga Cabean yang meninggal, maka dapat dipastikan dia tidak akan datang ke sana, dan dia akan minta diwakilkan pada orang lain. Pernah juga ada satu kejadian yang sangat menggemparkan dimana ketika Martoyo (54), salah satu warga Kampung Cabean, menggelar resepsi pernikhan anaknya, warga merasa banyak ular yang ikut jagong.

"Pokoknya dimana-mana ada ular. Bahkan ular-ular itu ada juga yang masuk ke dalam gelas minuman. Karuan saja orang-orang yang kondangan menjadi panik dan ketakutan. Dan anehnya lagi saat air minum dibuang, ularnya juga ikut hilang."

Hingga saat ini Kampung Cabean hanya dihuni oleh beberapa keluarga saja. Mayoritas dari mereka bekerja menjadi petani dan buruh, juga usaha kecil. Namun para penghuni Kampung Cabean sendiri tidak terpengaruh dengan adanya cerita-cerita yang mengerikan soal kampung yang mereka tinggali. Sampai saat ini kehidupan di Kampung Cabean tetap berjalan normal sebagaimana layaknya kampung-kampung lain. (8)

Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013

Senin, 18 Februari 2013

Gerimis Tengah Hari

Cerpen: Erna Dwi Lestari

Mengapa dulu kau terima cintanya?
Mengapa kau beri dia kata manismu?


"Rin, ada titipan buat kamu," Mira menunjukkan sebuah kado mungil berpita merah kepadaku. "Dari Rudi lagi? Loe aja yang buka Mir. Setelah itu tolong simpankan di tempat biasa." Kataku tanpa mengalihkan wajahku dari novel yang sedang kubaca.

"Rin! Belajaralah menghargai orang lain!" Nada Mira mulai meninggi.

"Mir, ngapain sih selalu maksa gue? Lagian gue juga engga pernah minta hadiah-hadiah itu! Jadi, mau buka atau enggak, itu hak gue dong! Kok elu yang rese?!"

"Rina, keterlaluan kamu!" bentak Mira seraya merebut novel dari tanganku. Napasnya turun naik menahan kemarahan. Aku tak peduli. Akupun kesal dengan sikapnya. Entah mengapa Mira selalu mmbela Rudi dan menyalahkan aku.

Mira dengar! Elu selalu maksa gue untuk bersama Rudi, loe selalu ngebelain dia. Kenapa enggak loe aja yang pacaran dengannya?!"

Mira tampak terkejut dengan dengan ucapan barusan. Dia diam sejenak. Aku tahu bila sudah begitu, biasanya Mira sudah mulai mengalah. Tapi ternyata kali ini aku salah. Dia menyahut dengan suara yang tidak kalah kerasnya.

"Oke Rina! Sekarang katakan paddaku! Apa yang kau inginkan sebenarnya? Apa! mengapa kau dulu terima cintanya! Kenapa kau beri dia harapan-harapan. Kau buat dia melayang dengan kata-kata manismu. Mengapa kini kau menyiksanya dengan kesetiaannya yang sepihak! Dimana perasaanmu?"

"Cukup Mira!"

"Apa yang cukup Rin, katakan?! Untuk apa kau mengingat dia, sedangkan kau sendiri terus mengejar Roy....!!"

Astaga Roy.... mendengar nama Roy, marahku jadi reda. "Mir, gue nggak sempat melayani loe. Gue ada janji dengan Roy. Bye...." Tanpa rasa bersalah aku melompt keluar kamar. Tak kuhiraukan Mira yang sedang marah. Masih sempat kudengar suara novel yang dilempar ke pintu. Aku tak peduli lagi. Dengan taxi aku menuju alun-alun, karena Roy berjanji akan menjemputku di sana.

"Rin, maafkan aku." Hati-hati sekali Mira mengatakan itu sepulangnya aku dari jalan-jalan dengan Roy.

"Aku yang salah Mir. Aku terlalu egois. Sekarang kalau kau marah padaku makilah aku, Mir," kataku sambil mengambil kado dari yang masih tergeletak di meja. Seperti biasa, tanpa membukanya aku menyimpannya dalam kotak di lemari yang paling bawah.

Disitu terdapat banyak kado-kado dan kartu-kartu ucapan selamat dari Rudi, karena pada tiap hari istimewa dia selalu memberikannya untukku. Padahal sampai saat ini aku belum penah memberikan apapun untuknya. Bahkan hari ultahnya pun aku enggak mau tahu. Entah mengapa aku dulu menerimanya.

"Rin, aku minta maaf karena selama ini aku terlalu banyak mencampuri urusan pribadimu. Sebenarnya tak perlu kutanyakan, karena aku tahu bahwa dulu kamu menerima Rudi karena desakandan permintaanku..."

Aku terdiam mendengar perkataan Mira yang lembut itu. "Mir, aku sudah mencintainya, tapi sulit bagiku. Kamu tahu mengapa selama ini aku malas membuka kado-kado darinya Itu karena aku merasa tersiksa dengan kesetiaan dan cintannya yang terlalu tulus. Dia sangat setia Mir, bahkan melebihi kesetiaan wanita India. Sedangkan kau tahu sifatku, saat ini aku menyukai permainan playboy seperti Roy misalnya." Aku selalu terbuka pada Mira. Dia adalah sahabat terbaikku.

"Kalau begitu mengapa tidak kau katakan hal yang sebenarnya pada Rudi? Bukankah itu lebih baik untuknya. Ehm... maksudku untuk kebaikan kalian berdua." Ucap Mira dengan mata berbinar. Ada sinar aneh di matany. Ternyata dia menyadari dan segera menundukkan wajahnya.

"Mir, boleh aku tahu mengapa kau begitu memperhatikan Rudi?" Tanyaku hati-hati. Namun itu sudah cukup untuk membuat Mira gugup.

"Rin, jujur aja, aku... pernah mencintainya!" Ting...!! Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku hingga kunci almari yang kupegang jatuh ke lantai. Mira segera menyambung ucapannya. "Tapi itu dulu, Rin. Sekarang rasa itu menjadi rasa sayang seorang sahabat. Dulu, kamu bertetangga. Rudi begitu baik padaku, namun aku salah mengetikan kebaikannya, bahkan sampai mencintainya, walau kutahu bahwa dia hanya menganggapku sebagai seorang sahabat. Lama-lama aku dapat juga merubah rasa cintaku menjadi sayang tulus seorang sahabat. Aku ingin melihatnya bahagia. Hanya itu Rin."

Aku tak dapat berkata-kata. Sulit bagiku mempercayainya. Melihatku hanya termangu Mira pun melanjutkan. "Hingga saat dia bilang padaku, dia menyukaimu. Tak ada keinginanku selain untuk menyatukan kalin. Ternyata aku salah. Tepukan yang hanya sebelah tangan tak mungkin dapat menimbulkan bunyi. Bahkan hanya menyiksa. Sebelum terlambat Rin, kumohon berilah kepastian yang jelas padanya." Aku hanya diam merenungi semuanya. Mira benar, aku harus membuat keputusan.

"Rudi ingin bertemu denganmu."

Aku terlonjak. "Suruhlah dia menunggu sebentar Mir," pintaku seraya menyisir rambutku. Entah mengapa hatiku berdebar-debar. Mengapa Rudi datang? Ada apa gerangan? Selama ini aku melarangnya sering-sering datang ke rumah.

Tadi malam Roy datang untuk memutuskan hubungan, karena dia sudah punya gadis lain. Setelah ditinggal Roy, aku baru menyadari bahwa Rudilah yang lebih baik dari semua yang kukerjakan selama ini. Kurasa ini bukan pelarian. Aku benar-benar sadar. Dan hari ini aku ingin minta maaf serta membuka lembaran baru bersama Rudi. Dan kebetulan siang ini dia datang.

"Hai Rudi, tumben kamu datang," sambutku dengan senyum ramah, Rudi pun membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya. Oh my God. Aku benar-benar terpesona. Kupandangi dia, oh... betapa bodohnya yang telah mengabaikannya selama ini. Apa sih kurangnya? Mengapa baru ini aku menyadari bahwa tidak mudah menemukan orang seperti dia? Selain baik, dia juga lembut dan setia. Soal tampang, Rudi juga nggak kalah sama Roy.

"Rin, ada yang ingin aku bicarakan." Suara Rudi lembut.

"Tadi malam aku lewat sini, dan kulihat..."

"Rud... aku.." aku tercekik tak dapat meneruskan ucapanku. Tadi malam Roy datang. Walaupun kedatangannya untuk memutuskan hubungan, tetapi Rudi pasti menganggap kami sedang kencan.

"Rin, Roy adalah sahabatku," ucapan Rudi kali ini kurasakan bagai petir yang menyambar di siang bolong. Lidahku begitu kelu. Roy sahabat Rudi. Padahal aku sudah bercerita banyak pada Roy, tentang perasaanku pada Rudi selama ini.

"Dan semalam Roy menceritakan banyak hal padaku, Rin, mengapa kau lakukan semua ini padaku? Pernah aku menyakitkanmu? Mengapa Rin?" Rudi menatapku lekat-lekat. Ada kecewa disudut matanya. Aku hanya menunduk. Ingin merayunya, tapi aku tak bisa.

"Rud.... aku..." Sebelum kuteruskan, Rudi sudah memotong ucapanku. "Baru kutahu bahwa dulu kamu menerimaku karena terpaksa dan kasihan. Tapi aku tidak pernah memaksamu dan aku tidak mau dikasihani. Aku bukan pemgemis Rin!" Nada mulai meninggi.

"Rud, maafkan aku..." hanya itu yang mampu kuucapkan.

Akulah yang harus minta maaf Rin, aku telah membuatmu tersiksa selama ini. Aku tidak tahu bahwa selama ini kamu hanya bersandiwara. Bila kutahu melarangku datang tiap malam minggu, karena kau selalu ada acara dengan pujaan hatimu, karena kau ingin menghindriku, tentu aku takkan mengganggu hidupmu. Dan mengenai barang-barang pemberianku, kalau kamu tidak suka buang saja." Oh Tuhan bagaimana caraku untuk membujuknya?

"Rudi, dengarkan aku. Aku berjanji akan berusaha. Aku akan setia padamu dan tak...." lagi-lagi Rudi memotong pembicaraanku.

"Tak perlu Rin. Aku tak akan mengingatmu lagi. Hancur hatiku Rin Bukan karena pengkhianatanmu. Bukan. Kalau itu aku masih bisa memaafkan. Tapi ini lain Rin. Aku telah menyiksa batinmu selama ini. Itu yang membuatku hancur dan tidak dapat memaafkan diriku sendiri! Kamu tahu Rin, aku akan melakukan apa saja demi orang yang kucintai. Dan ternyata kau mengharapkan kepergianku. Walau dengan berat aku akan pergi. Selamat tinggal Rin." Rudi melangkah keluar.

Aku segera mengejar dan mencegahnya. "Rud, jangan pergi."

Dia behenti dan memegang pundakku. "Aku tak ingin melihatmu tersiksa Rin, mungkin aku salah telah mencintaimu. Dan kesalahan yang terbesar adalah mengapa aku menyatakannya padamu. Seharusnya aku menyimpannya sendiri agar tidak membebanimu. Maafkan aku..." Mata elang yang teduh itu menatap kosong.

Tapi Rud, cinta bukanlah dosa." Aku masih berusaha mencegahnya.

"Terima kasih Rin. Karena itulah aku terus mencintaimu walau kutahu kau bukan untukku." Setelah itu dia segara menyeberang jalan tanpa memperdulikan aku. Tiba-tiba aku merasa ada yang hilang.

"Bukan itu maksudku Rud!" Tanpa menoleh kanan kiri, kukejar dia yang sudah sampai di seberang. Ketika tiba-tiba ada sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menuju ke arahku, aku terpaku, tak sempat berbuat apa-apa. Kudengar teriakan histeris saat kurasakan tubuhku membentur sesuatu. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.

Ketika sadar, aku sudah ada di kamar kostku. Mira duduk di dekatku dengan bersimbah air mata. "Mir, aku belum mati?" tanyaku bertubi-tubi. Dan dengan tersendat-sendat Mira menjawab. "Tenanglah Rin, kamu tak apa-apa. Kamu hanya terluka sedikit. Kata dokter kamu sangat terkejut sampai pingsan.

"Tapi kalau aku tak apa-apa, apa yang kau tangiskan? Bagaimana aku bisa selamat, Mir?" tanyaku masih tidak percaya. Rudi yang menolongmu. Saat ada mobil yang akan menabrakmu, dia segera meloncat dan menolongmu. Kamu terlempar ke trotoar. Sedangkan dia sendiri tertabrak mobil." Mira bercertia dengan terisak-isak.

"Rudi menolong aku?!" Aku terbelalak. Rudi yang telah kulukai masih mau menolongku. Ingat Rudi, aku jai cemas. Bagaimana kalau lukanya lebih parah dariku. "Mir, katakan dimana Rudi sekarang! Dia tidak apa-apa kan? Katakan Mir, bahwa lukanya lebih ringan dariku! Ayo temani aku menjenguknya di rumah sakit. Mir, aku janji akan selalu merawatnya, menyayanginya, aku ak..."

"Tenanglah Rin. Rudi nggak apa-apa. Baiklah sekarang kita berangkat."

Ucapan Mira yang agak tenang itu sedikit melegakanku. Biarlah nanti di rumah sakit akan kukatakan pada Rudi bahwa aku sudah berubah. Akan kuberi perhatian, kasih sayang dan cintaku untuknya. Ya... tiba-tiba saja dia menjadi sangat berarti bagiku.

Mira membimbingku naik taxi. Mengapa hatiku berdebar-debar? Maukah Rudi memaafkanku nanti? selama perjalanan kami hanya membisu. Ketika taxi berhenti, baru kusadari bahwa kami tidak ke rumah sakit, tapi itu.... kuburan.

"Mir!" aku sangat terkejut. Mira segera memelukku. "Rin, Rudi.... sudah tiada." Mira menuntutku keluar dari taxi.

"Tidak...!!" Aku berteriak sekuat-kuatnya. Tak berdaya tubuhku jatuh terduduk di atas gundukan tanah yang masih merah itu. Bunga-bunga menutupi permukaannya. Serasa tidak percaya kubaca batu nisan. Ada nama Rudi di sana. Air mataku ikut menghiasi peraduan terakhirnya.

"Rud... jangan tinggalkan aku..." ratapku di batu nisannya. "Sudahlah Rin, biarkan dia tenang di sana..." Mira mencoba menghiburku. Tapi hal itu malah membuatku sedih.

Mengapa... harus Rudi yang pergi. Mengapa dia menolongku. Mengapa tidak dibiarkannya aku yang mati? Di saat terlupakan ddia rela brkorban untukku. Orang macam apa aku ini? mengapa baru kini aku sadar! Oh Rudi maafkan aku. Betapa kejamnya aku yang telah menyia-nyiakan tulusnya cinta kasihmu. Terbayang dimataku kelembutanmu, kebaikanmu, cintamu, dan juga kecewa dimatamu.

Kini hanya sesal yang menyibak di dadaku. Andai waktu bisa kembali, ingin aku menyayangimu di dadaku. Andai waktu bisa kembali, ingi aku menyayangimu. Tapi kini semua telah nyata. Kau berbaring di bawah rumpun kamboja dan kambing. an akulah penyebab semuannya. Sulit bagiku untuk memaafkan diriku sendiri. (*)

Senin, 04 Februari 2013

Krikil-Krikil Cinta

Cerpen: Eki Nastitie/Linda

Sebuah kendaraan dari samping kanan menyambar punggungnya dengan keras, membuatnya terpekik, kehilangan keseimbangan dan terpelanting jatuh ke sisi badan jalan....

* * * * * * * * * * * * * * *


Awal bulan terasa lebih dingin. Sejak sore tadi gerimis turun Anis duduk di bibir jendela. Pikirannya tengah melambung jauh di luar raga. Sesekali tarikan napasnya terdengr berat. Benaknya sepenuhnya terisi oleh kkejadian-kejadian yang membuatny begitu perih. Dimuli dari hari Senin itu, saat Anis melihat Dirga duduk semobil dengan seorang gadis, padahal cowok itu sudah janji mengantarnya pulang seusai sekolah.

Anis lalu pulang sendiri. Diperempatan mawar yang selalu macet, dia melihat starlet merah bergerak pelan dalam antrean. Di dalamnya terlihat Dirga sedang mengamati jalan, dan disampingnya duduk seorang gadis cantik! Menyakitkan! Itu satu-satunya perasaan yang menghujam dada Anis.

Kamis, 31 Januari 2013

Dendam tak Bertuan

Dendam tak Bertuan
Cerpen: Shandy Tan

Meja itu memang di kutuk oleh gadis yang meninggal bunuh diri di sini, setahun yang lalu......

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Judyth mengedarkan pandangannya menyapu seisi ruangan cafe yang yang terletak di lantai lima pusat perbelanjaan ini. Suasa cafe amat padat, barangkali kali karena bertepatan dengan malam minggu. Memang, sebagian besar pengunjungnya adalah pasangan remaja yang sedang mabbuk cinta. Cafe ini sudah terkenal sebagai cafe paling romantis, karena setiap meja hanya punya dua kursi. Yang punya usaha memang merancangnya untuk pasangan-pasangan kekasih. Dari namanya saja sudah terbaca maksudnya: "Cafe Sejoli"

Judyth memandang berkeliling sekali lagi dia memang sudah mendapatkan tempat yang cukup strategis, yaitu paling ujung dekat pintu masuk. Dengan demikian ia bisa mengamati semua pengunjung Cafe Sejoli. Saat ini semua meja sudah terisi. Hanya masih ada satu meja yang kosong, yaitu meja nomor 66 yang letaknya tak jauh dari jendela. Padahal lokasi meja itu lumayan strategis, insan yang memadu kasih di sana bisa sekaligus memandang indahnnya lampu-lampu jalan maupun bangunan yang menyemarakan Kota Medan malam ini.

Pasti gara-gara beberapa kejadian yang berulang setahun terakhir di Cafe Sejoli, batin Judyth. Lamunnya terusik oleh kehadiran sepasang remaja yang baru masuk. Mereka tidak segera mencari meja.

"Ya...." keluh si gadis kecewa. "Tempatnya sudah penuh semua. Ini gara-gara macet tadi, sekarang kita nggak kebagian kursi. Cari cafe lain aja yuk?"

"Tunggu Rose," cegah pacarnya, lalu menunjuk ke dekat jendela. "Meja itu masih kosong, kita bisa duduk di sana."

Judyth melihat wajah Rose memucat.

"Aku tidak mau," katanya dengan suara lirih, agar bergetar seperti orang ketakutan. "Kita cari cafe lain."

"Tapi kenapa?"

"Kau lihat nomor meja itu?"

"Nomor 66. Ada yang aneh?"

"Apakah setahun ini kau tidak tinggal di bumi, Ken? desis Rose sambil membelalak pada kekasihnya. "Meja itu meja hantu!"

Kening Ken berkerut. "Meja hantu?"

"Iya. Sudah empat cewek yang meninggal, karena mereka bertengkar hebat, lantas si cewek melompat dari jendela dan mati! Meja itu angker dan membawa malapetaka!"

"Kau terlalu banyak nonton film horor."

"Ini kisah nyata, Ken, bukan rekaanku."

"Kita sudah mahasiswa," tegas Ken.

"Kalau meman benar meja itu angker, dan banyak orang mengetahuinya, kenapa cafe ini tetap ramai dikunjungi? Logikanya, orang pasti menganggap yang menyeramkan adalah cafe ini, bukan salah satu meja di dalamnya, jadi tak akan ada yang datang. Sekarang kau lihat sendiri keadaannya, begitu padat sampai kita nyaris kehabisan tempat. Ayolah, nanti...."

"Kau tidak mengerti!" desis Rose.

"Justru itu yang menjadi daya tarik cafe ini. Orang-orang seperti terobsesi untuk melihat dari dekat meja 66, meja kematian. Boleh percaya boleh tidak, kendati sudah empat gadis yang meninggal dengan cara serupa saat menempatinya, tapi cafe ini semakin laris. Aku ingat betul saat Cafe Sejoli ini dibuka dulu. Sampai dua bulan kemudian hanya dikunjungi paling banyak sepuluh orang setiap hari, padahal daya tampung kursinya sekitar seratus orang. Seperti katamu tadi, sekarang ini Cafe Sejoli nyaris penuh tiap jam, kecuali meja 66. Padahal menunya tidak seistimewa cafe lain di gedung ini."

Pemuda jangkung itu diam saja.

Meja itu tidak.... tidak..." Rose seolah kesulitan istilahyang tepat. ".... tidak wajar."

"Kau ini terlalu...."

"Sudahlah!" sergah Rose agak keras, membuat beberapa pasangan menatap heran. Buru-buru ia mengecilkan volume suara. "Pokoknya aku tidak mau duduk di situ. Kalau kau nekad, silakan, aku pulang sendirian juga nggak apa. Kau memang nggak perlu takut, soalnya yang akan meloncat dari jendela itu adalah aku dan bukan kau!"

Judyth melihat Ken agak serba salah.

"Oke, jangan marah lagi. Kalau kau memang tidak suka, silakan pilih cafe lain. Kita pergi sekarang."

Mereka berlalu. Judyth hanya menggidikkan bahu. Dalam kurun waktu ini, memang sudah terjadi empat peristiwa serupa yang menimpa pasangan-pasangan di meja 66. Tepatnya menimpa sang cewek. Seperti cerita Rose tadi, mulanya pasangan yang memilih meja itu nampak mesra. Mereka berbisik penuh cinta, bertatapan penuh rindu. Lalu perlahan keadaan berubah. Suara-suara yang semula tampak mendayu, mendadak seperti dibantu pengeras suara. Muda-mudi di situ bertengkar hebat, tak peduli jadi pusat perhatian orang banyak. Dan, bagai menyaksikan sebuah adegan lamban, berpuluh pasang mata disuguhi tontonan mengerikan saat sang gadis di meja 66 mendekati jendela lalu menjatuhkan diri secara mendadak.

Judyth menghela napas. Semua itu bukan kabar burung atau dongeng seram yang disebarluaskan untuk tujuan komersial, bukan pula iklan terselubung untuk menyedot perhatian masyarakat. Itu kisah nyata Judyth menyaksikan tiga peristiwa terakhir dengan mata kepalanya sendiri, mulai dari masuknya pasangan pasangan-pasangan naas itu sampai aksi "terjun bebas" si dara. Sekarang cerita mengerikan itu sudah menjadi mitos di mata masyarakat: meja 66 adalah meja petaka, pasangan yang menempatinya akan jadi pasangan paling merana. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, menyebut meja 66 adalah meja hantu.


Pendek kata, meja 66 seolah menjadi semacam tugu peringatan bagi muda-mudi yang ingin menghabiskan waktu di Cafe Sejoli. Lamunan Judyth terusik ketika sepasang remaja yang terlihat mesra berdiri tak jauh di sampingnya. Sama seperti Rose dan Ken tadi, kedua orang ini juga tampak ragu-ragu.

"Ya..." kata cowoknya.

"Tinggal meja itu yang kosong."

"Kenapa dengan meja itu?"

"Itu meja 66. Meja hantu."

"Ah, mitos!" sergah si cewek.

Judyth tersenyum samar melihat kecuekan gadis itu. Dalam hati dia menebak, si cewek pasti tipe manusia yang suka bermain dengan bahaya. Tunggu saja sebentar lagi

"Kau tidak percaya?" tanya si cowok.

"Cerita konyol itu?" cibir gadis itu. "Yah, memang kisah nyata, tapi pasti ada penjelasan yang logis."

"Kau mau menjelaskannya?" goda si cowok.

"Boleh. Aku akan menguraikannya secara psikologi. Menurutku, yang terjadi itu adalah suatu kebetulan...."

"Kebetulan?" si cowok mendelik. "Kebetulan tidak akan terjadi sampai empat kali, Pink."

"Aku belum selesai, jangan dipotong dulu. Kebetulan peristiwanya pernah terjadi dua kali pada meja yang sama dan dengan model tragedi yang sama pula. Lalu orang-orang mulai mengajukan teori teori senada sehingga membentuk sebuah mitos yang secara psikis mulai mempengaruhi siapa saja yang ingin menempati meja itu."

"Oke-oke, aku ngalah. Susah ngelawan mahasiswa psikologi," cetus si pemuda sambil menggandeng lengan gadisnya.

"Kesimpulannya, kau sama sekali nggak percaya, aku juga. Kupikir, pasti seru kalau kita bisa jadi pasangan yang mampu menepis kepercayaan umum. Tentunya kau tidak keberatan kalau kita duduk di sana."

"Aku setuju," sahut Pink.

Mereka langsung menuju meja 66. Judyth senyum tipis. Benar dugaannya, kedua insan itu memang pemberani. Hampir semua pengunjung cafe memandangi keduanya dengan sorot mata ngeri, seolah mereka adalah hantu penunggu meja yang setahun ini sudah menelan korban empat gadis belia.

Judyth kembali sibuk dengan lamunannya, berharap dapat bertemu dengan orang yang lama ditunggunya. Cewek bermata sendu itu menoleh ketika terdengar suara ribut-ribut seperti orang bertengkar mulut. Refleks matanya mencari sumber suara. Dilihatnya gadis di meja 66 sudah berurai air mata. Sedang yang cowok berteriak dengan wajah yang merah. Para pengunjung cafe mulai tegang, beberapa remaja puteri bahkan terlihat pucat. Tontonan gratis itu tidak berlangsung lama. Pink berdiri. Semua orang seolah terhipnotis saat ia mendekati jendela. Dan bagai sebuah adegan lambat, Judyth bersama puluhan orang lainnya menyaksikan tubuh mungil itu melompat, sebelum ada yang sempat bergerak. Tubuh Pink lenyap bersama jeitannya yang menyayat.

Detik itu pula kekasihya bagai tersadar dari mimpi. Dengan teriakan histeris ia memburu ke jendela, namun yang terlihat hanya sosok bersimbah darah di halaman gedung. Suasana cafe seketika penuh gumam, mulai ngeri sampai gumam prihatin. Yang paling banyak adalah gumam menyalahkan muda-mudi naas itu karena tidak mempercayai mitos meja 66.

Judyth menghela napas iba. Ini untuk yang keempat kalinya ia menyaksikan adegan serupa, berari korban yang jatuh sudah lima orang. Hatinya terenyuh melihat pacar Pink masih menjerit-jerit histeris menyalahkan dirinya. Sementara di luar, sirene polisi dan sirene ambulans menambah mencekamnya suasana. Judyth menyembunyikan tubuhnya makin ke sudut, saat matanya menangkap sesosok orang tubuh yang pernah dikenalnya dengan baik.

"Ternyata mitosmeja 66 itu benar," gumam sosok tadi, seorang dara manis, pada teman pria yang bersamanya. Mereka baru tiba, dan si cowok tengah mengamati kerumunan di jendela.

"Apa yang benar?" ulang si cowok.

"Mitos itu. Waktu dia mengatakannya, kupikir dia cuma menceracau. Sama sekali tidak kusangka kalau dendamnya yang membara benar-benar ditinggalkan di meja itu."

"Kau bicara apa sih? Lagi stres ya?"

Yang ditanya menunduk dalam dan menjawab dengan nada sedih. "Meja itu memang dikutuk, Bob...."

"Oleh siapa?"

"Gadis yang bunuh diri pertama kali setahun silam."

"Kau seolah tahu persis ceritanya," selidik Bob.

"Karena.... karena gadis itu...," dia mengisak, "Adalah teman karibku sendiri..."

"Astaga, June! Rahasia apa yang kau sembunyikan dariku?"

"Dia puteri pemilik cafe ini," tutur June parau. "Saat itu ia punya pacar, seorang teman kuliah yang pernah menyukaiku. Di malam naas itu mereka sedang berduaan di meja 66, ketika aku menghampiri untuk mengembalikan saputangang si cowok yang tinggal di ruang kuliah. Temanku curiga dan cemburu, lalu marah besar padaku. Baru kutinggal selangkah, mereka bertengkar."

"Lalu?" desak Bob.

"Dalam kesalnya, Dwi mengancam untuk memutuskan hubungan. Temanku yang malang kehilangan kontrol dan melompat...." June berhenti bicara, dua tetas air mata membasahi pipi halusnya. "Aku masih sempat menjenguknya di rumah sakit. Dia sudah sekarat waktu itu, tapi masih sanggup menikamku dengan sorot mata penuh dendam, pada detik-detik terakhir ia berkata akan mengutuk meja itu dan meninggalkan semua kemarahannya di sana, sehingga siapa pun yang menempatinya akan bernasib sama. Bob, a.. aku..."

"Ssshh... June, ini bukan salahmu," bujuk Bob sambil memeluk gadisnya. "Jauh sebelum kejadian itu, kau kan sudah punya aku."

"Tapi Judyth tidak tahu, dia tetap berpikir kalau aku ingin merebut Dwi," isak June. "Aku merasa akulah penyebab segala. Tolong aku, Bob, aku tak ingin Judyth terus mendendamku dari alamnya."

"Kita pergi, June, kau bisa terguncang kalau terus di sini," Bob merangkul bahu June dan membawanya melangkah.

Judyth segera keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung menempatkan diri di depan keduanya, mencoba menghalangi gerakan mereka. Tapi.... wuuussss..... mereka menembuh tubuhnya. Judyth hanya bisa menatap geram. Sudah setahun dia menunggu mantan sahabat karibnya itu datang bersama seorang cowok, lantas memilih meja 66 agar dendamnya terbalaskan. Tapi baru sekarang June muncul, dan itu pun sudah lenyap dikeramaian tanpa masuk ke cafe.

"Demi setan-setan di neraka," gumamnya dengan bola mata menyala, "Aku tidak akan mencabut dendamku sebelum menyaksikan June mengalami apa yang menimpaku, jadi akan makin banyak korban yang jatuh untuk menemaniku di kegelapan!"

Suasana Cafe Sejoli berangsur tenang. Judyth kembali ke tempatnya semula, di sudut yang gelap, mengawasi dan menunggu pasangan pemberani yang akan menjadi korban ke enam. Kalau sekarang kau ada di sebuah cafe, lalu nomor mejamu 66, dan letaknya dekat jendela... hati-hati saja. Judyth sedang mengawasimu, siapa tahu kau tumbal berikutnya. Meja 66 dan korban ke 6 bukan angka yang baik, setan-setan menyenanginya. (dnl)

Selasa, 29 Januari 2013

Pertalian Hati

Pertalian Hati
Cerpen: M. Amin Taufani

Bagaimana kalau salah satu melihat Galang, tentu ada Lia senyum-senyum membaca apa yang sedang ditulis kakaknya. Tulisan dengan kalimat yang indah dan penuh makna. Menggambarkan perasaan hati dan kerinduan pada seseorang. Ingin rasanya pada saat itu Lia berkomentar, tapi khawatir mengganggu penghayatan Kanty pada tulisannya.

Dari kamar Kanty cewek berambut panjang dan dikepang ini menuju tempat Ratih kakaknya juga. "Aneh apa ini musim orang jatuh hati?" gumam Lia, karena dilihatnya Ratih sedang bertopang dagu dengan berekspresi membayangkan wajah seseorang, Lia mendekati Ratih dan duduk disampingnya. Ratih sendiri mengeserkan duduknya memberikan tempat Lia. "kok tahu aku datang, kukira sedng melamun," kata Lia santai.

"Memang sedang melamun. Kamu saja yang mengganggu," ujar Ratih.

"Mau tanya kak, ini musim jatuh hati ya kak?"

"Siapa yang bilang?"

"Engga ada cuma menarik kesimpulan."

"Kesimpulan? Sok tahu kamu," ujar Ratih setengah tertawa mendengar kata-kata Lia yang bicara dengan gaya orang besar.

"Ya tadi ditempat Kak Kanty, ia sedang menulis puisi tentang hati. Dan di sini Kak Ratih pun sedang melamunkan seseorang. Benar bukan?"

Kalau benar bagaimana?"

"Aku diberitahu orangnya."

"Boleh tapi rahasia."

Lia mengangguk.

"Galang."

"O, Mas Galang si kutu buku itu."

"Ingat rahasia," tegas Ratih saat Lia berteriak menyebut nama Galang.

"Kamu besok ada acara?" lanjut Ratih yang khawatir adiknya akan membicarakan cowok idamannya ini atau mungkin akan bertanya macam-macam.

Lia menepuk jidat, lalu menggeleng. "Mau ngajak kemana?"

"Besok temani aku ke perputakaan."

"Kalau aku bisa.

Sebenarnya Lia bukanlah adik kandung bagi Kanty dan Ratih. Mereka bertemu di sekolah sebagai kakak dan adik kelas. Dan karena mereka aktif mengikuti kegiatan ekstra kulikuler bersama membuat mereka lebih cepat akrab. Ditambah lagi orang tua Lia juga menganggap dua anak ini layaknya anak sendiri. Sehingga secara tidak langsung ketiganya merasa telah menjadi saudara.

Bagi Lia untuk bermain di kamar Kanty atau Ratih sudah biasa. Dan kali ini i masuk kamar Kanty untuk mencari tahu tentang orang yang sedang diincar oleh Kanty. Telah hampir sepuluh menit Lia membuka-buka buku. Mungkin ada nama cowok disana. Lia berinisiatif demikian karena ia tahu kebiasaan Kanty yang menulis sesuatu dibukunya.

"Nah kebetulan kamu ada disini," suara Kanty mengejutkan aktivitas Lia.

"Kebetulan apa Kak Ti?"

"Kamu jaga kamarku."

"Kak Ty mau kemana?" Lia heran melihat Kanty yang tergesa.

"Perpustakaan."

Lia hanya mengangguk lalu kembali membuka buku lagi. Dan... "Galang," batin Lia ketika matanya menatap sebuah nama tertulis indah di pojok sebuah buku yang ditulis dengan tulisan yang indah. Jadi Kak Kanty juga suka Mas Galang? Wah payah, pikir Lia. Bagaimana jika keduanya tahu kalau orang yang disukai sama jangan-jangan mereka nanti bermusuhan, apa yang harus akku lakukan, batin Lia.

Celaka.... Lia tersentak. Ia ingat, kemarin Ratih mengajaknya keperpustakaan dan tadi juga Kanty akan ke sana. Rupanya mereka punya rencana yang sama, yaitu ingin bertemu Galang yang memang suka sekali berlama-lama di perpustakaan. Bagaimana kalau salah satu bertemu Galang dan yang lain melihat, tentu akan cemburu. Tidak, jangan sampai terjadi. Aku harus mencegah mereka tidak saling bertemu, batin Lia lagi.

Lia segera meninggalkan kamat Kanty dan menuju perpustakaan. Ia jadi gelisah bila kendaraan yang ditumpanginya berhenti untuk menaikan atau menurunkan penumpang, karena perjalanan jadi terhambat. Seandainya ia punya kuasa tentu akan meminta penumpang lain untuk mengalah, agar dirinya lebih cepat sampai tujuan. Akhirnya Lia menarik napas lega, setelah tiba di perpustakaan. Tapi hanya sesaat, karena ia harus mencari Galang, Ratih dan Kanty, serta membuat cara agar mereka tidak saling bertemu.

Pertama yang ditemukan adalah Galang. "Sudah lama Mas Galang? sapanya sedikit gugup.

"Lumayan. Kamu sendirian Lia?"

Lia mengangguk, tapi matanya berkeliling mengamati orang-orang di sekitarnya.

"Kamu cari siapa Lia?" tanya Galang yang memperhatikan kegelisahan Lia.

"Tidak Mas baca aja terus!" sahut Lia sambil menarik kursi dan mendudukinya. Untuk mengurangi rasa gugup, diambilnya sebuah buku sekenanya lalu pura-pura konsentrasi membaca.

Galang hanya tersenyum, namun matanya diam-diam mencuri pandang pada gadis di depannya. Sementara Lia sendiri kadang melihat ke arah Galang, maksudnya untuk melihat keadaan sekitar tanpa dicurigai menakala mata mereka bertemu Lia hanya tersenyum dan Galang kembali pada bukunya tentu setelah membalas senyum Lia. Cukup lama mereka kucing-kucingan dengan tujuan masing-masing.

Usaha Lia tidak sia-sia. Dilihatnya Ratih tengah berada diantara rak-rak buku sambil memilih-milih. Tapi arah jalan Ratih meskipun pandangannya tertuju pada buku-buku di depannya tapi menuju ke tempat dimana dirinya dan Galang berada. Harus dicegah.

Mau kemana Lia?" tanya Galang ketika Lia beranjak pergi.

"Ambil buku," jawab Lia singkat.

"Aku jua mau ambil buku pariwisata," ujar Galang mengikuti Lia.

"Jangan biar aku saja yang ambilkan," Lia buru-buru mencegah.

Galang mengalah, ia kembali duduk. Sedang Lia dengan perasaan tak menentu mendekati Ratih dengan sesekali menoleh pada Galang.

"Cari buku apa Kak?" suara Lia seperti membuat kejutan didekat Ratih agar terlihat wajar.

"Lho kok kamu di sini?"

"Kak Ratih kan kemarin minta aku temani jadi ya aku menemani Kak Ratih," jawab Lia mantap karena bisa menemukan jawaban tepat.

"Ya sudah kita cari tempat duduk," ujar Ratih setelah mengambil sebuah buku dan berjalan menuju dimana Galang berada.

"Jangan ke sana Kak," rajuk Lia.

"Kenapa?"

"Nggak enak banyak cowoknya."

Ratih menuruti saja tanpa merasa curiga sedikitpun. Padahal kalau ia tahu Galang ada di tempat yang ia tuju tentu akan mengajak Lia ke sana. Beberapa menit terasa tenang bagi Lia, tapi begitu Galang tidak ditempatnya Lia jadi gelisah.

"Pasti Mas Galang mencariku," batin Lia.

"Sebentar Kak," pamit Lia. Begitu Lia berdiri dari arah berlawanan dengan Kanty muncul.

"Kak Ratih duduk saja, baca dengan tenang dan jangan tengok-tengok," pinta Lia.

"Ada apa?"

"Nothing pokoknya tenang saja."

Dengan hati berdebar Lia mencari Galang tapi juga harus menghindari Kanty. Ia tetap bertekad untuk tidak mempertemukan ketiganya.

"Heh bengong di sini," tegur seseorang dari belakangnya.

"Oh ya Mas Galang juga di sini," sahut Lia menutupi rasa terkejutnya.

"Cari kamu. Kupikir sudah pulang atau sedang kecantol seseorang," goda Galang. Lia cuek saja menanggapinya. Keduanya lalu berjalan santai. Jantung Lia kembali berdebar dilajur rak sebelahnya, Kanty juga sedang berjalan ke arah berlawanan. Kanty tampak mengamati buku yang mungkin akan diambil. Karena deretan buku disitu tinggal beberapa sehingga sangat mudah untuk melihat orang di sebelah. Lia mengambil buku yang cukup besar untuk menutupi celah yang kemungkinan Kanty bisa melihatnya.

"Kamu sedang apa Lia?" Galang heran melihat tingkah Lia.

"Jangan triak-teriak," Lia bicara setengah berbisik.

"Ada apa?" Galang ikut berbisik, Lia menggeleng dan memberi isyarat Galang untuk jalan lebih dulu.

"Hari ini kamu aneh sekali Lia?"

"Aneh kenapa?"

"Kamu seperti sedang gelisah dan ketakutan," tebak Galang setelah mereka duduk.

"Nggak juga nyatanya aku masih bisa tertawa," elak Lia sambil memperdengarkan ketawanya. Galang geleng-geleng bukan hanya karena tingkah Lia, tapi juga ketawanya yang mengganggu lingkungan.

"Lia!" sebuah suara menghentikan tawa Lia seketika. Suara cewek. Ia merasa tulang-tulangnya seperti dilolosi sehingga badannya menjadi lemas. Perlahan Lia memutar leher. Demikian juga Galang. Terasa longgar rongga dada Lia saat ia tak mengenal orang yang memanggilnya. Rupanya hanya persamaan nama saja. Pada kesempatan itu pula Lia dapat melihat Kanty dan Ratih di tempatnya masing-masing.

"Lia kita pulang," Galang berdiri dan berjalan keluar yang kemudian diikuti Lia dengan hati-hati. Ia merasa berhasil meski sementara.

"Besok aku ke rumahmu," janji Galang di luar gedung perpustakaan. Lia hanya mengiyakan dengan mengangguk.

"Aku suka kamu Lia," kata Galang saat menemui Lia keesokan harinya.

"Suka aku maksudnya?"

"Ya suka kamu dan inginkan kamu menjadi milikku," ujar Galang tegas.

"Tapi kakak-kakakku......" kata-katanya terhenti terhenti tak sampai mengatakan hal yang sebenarnya.

"Kenapa apa karena mereka belum punya cowok?"

Lia tak menjawab.

"Baiklah kalau begitu aku akan minta izin pada mereka," Galang memutuskan. Lia masih diam dan tak peduli saat Galang meninggalkannya.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Sepekan setelah pernyataan Galang pada dirinya ia tak merasa adanya perubahan pada sikap Kanty dan Ratih. Mereka tetap biasa. Bahkan keduanya sering menggoda Lia yang tiba-tiba jadi pendiam. Namun ada juga kegembiraan yang menyelinap di hatinya. Ia berpikir Galang belum mengatakan apa yang pernah dijanjikan padanya untuk minta izin dari Ratih dan Kanty. Bagaimanapun juga ia tak bisa mengkhianati dua kakaknya untuk menerima Galang.

Hari-hari berikutnya Lia kembali ceria.

"Nah gitu dong jadi anak jangan cemberut."

"Siapa yang cemberut?" tangkis Lia.

"Ya kamu itu."

Lia hanya senyum simpul.

"Lia benarkah kamu anggap kami ini kakak-kakakmu?" Ratih bertanya serius. Lia tampak bingung namun ia jelas mengiyakan.

"Kalau begitu maukah memenuhi permintaan kami?" kali ini Kanty yang bicara.

"Permintaan apa Kak Ti?"

"Jawab dulu, Lia mau memenuhinya?"

Meski tak tahu apa yang dimaksud Lia menyanggupinya.

"Terimalah Galang dihatimu Lia."

Lia terkejut dipandanginya dua wajah didepannya. Penuh kedamaian. Tak ada kekecewaan dan keterpaksaan. Sebelum Lia berkomentar, Ratih telah menjelaskan tentang maksud Galang yang datang pada mereka. Ratih pun menambahkan, mereka memang suka Galang tapi lebih suka lagi, kalau Lia menerima Galang. Karena ini mempererat pertalian persahabatan dan persaudaraan di antara mereka. (*)