Ini Cara yang Tepat Menyatakan Cinta

Tidak banyak perempuan yang berani untuk mengungkapkan perasaannya dan malah memilih untuk memendamnya entah sampai kapan. Sebenarnya, menyatakan cinta itu sah-sah saja selama anda menggunakan cara yang sopan dan tidak berlebihan.

Mengetahui Kadar Cinta Si Dia

Keingintahuan merupakan hal yang sangat wajar dalam kehidupan manusia. Keingintahuan dapat terkait dengan banyak hal dan salah satunya mengenai pasangan anda. Berikut beberapa tips untuk mengetahui kadar cinta si dia

Ada Banyak Cara Melupakan Mantan Pacar

Setiap hubungan percintaan pasti mengalami masa-masa yang sulit untuk bisa saling memahami perbedaan yang ada. Seringnya perbedaan tersebut malah membuat hubungan tersebut menjadi sangat buruk kualitasnya. Tidak jarang hal ini mengakibatkan putus cinta

Lewat Surat Cinta Bisa Lebih Ungkapkan Romantisme

E-mail, SMS, sampai instant messenger memang sangat mempermudah komunikasi kita dengan orang lain. Namun, ketika sedang menjalin kasih Anda pasti tak ingin menerima ucapan cinta melalui pesan singkat saja. Untuk mengatasi kebosanan dan membuat hubungan semakin romantis, tak ada salahnya untuk kembali menggunakan cara tradisional, yaitu surat cinta. Meski terbilang jadul, melalui surat cinta Anda bisa lebih puas mengungkapkan perasaan dengan kalimat yang lebih romantis. Apalagi jika surat itu Anda selipkan ke tangannya dilengkapi setangkai mawar merah.

Pada Bulan Merah Akankah Kau Pulang

Sampai penantian itu berbilang tahun --20 tahun hingga kini-- bagai kumbanng putus tali. Hilanng tanpa kendali. Andaikata pula ia tersesat, mestinya aku tahu di mana rimbanya. Kalaupun ia wafat, aku berharap tahu pula di mana tempat kuberziarah.

Doa Sebutir Peluru

Engkau teerdiam, bersarang di dalam leher seseorang setelah sebelumnya menerjang, berteriak garang. Engkau masih terdiam ketika leher yang kau lubangi itu mengucurkan darah merah, memulas tanah, mengguris hitam pada sejarah. Kemudian perlahan engkau meringis, mulai menangis, memaki segala macam tragedi sementara tubuhmu tak dapat bergerak, tetap berdiam di tubuh manusia malang itu.

Kamis, 31 Januari 2013

Dendam tak Bertuan

Dendam tak Bertuan
Cerpen: Shandy Tan

Meja itu memang di kutuk oleh gadis yang meninggal bunuh diri di sini, setahun yang lalu......

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Judyth mengedarkan pandangannya menyapu seisi ruangan cafe yang yang terletak di lantai lima pusat perbelanjaan ini. Suasa cafe amat padat, barangkali kali karena bertepatan dengan malam minggu. Memang, sebagian besar pengunjungnya adalah pasangan remaja yang sedang mabbuk cinta. Cafe ini sudah terkenal sebagai cafe paling romantis, karena setiap meja hanya punya dua kursi. Yang punya usaha memang merancangnya untuk pasangan-pasangan kekasih. Dari namanya saja sudah terbaca maksudnya: "Cafe Sejoli"

Judyth memandang berkeliling sekali lagi dia memang sudah mendapatkan tempat yang cukup strategis, yaitu paling ujung dekat pintu masuk. Dengan demikian ia bisa mengamati semua pengunjung Cafe Sejoli. Saat ini semua meja sudah terisi. Hanya masih ada satu meja yang kosong, yaitu meja nomor 66 yang letaknya tak jauh dari jendela. Padahal lokasi meja itu lumayan strategis, insan yang memadu kasih di sana bisa sekaligus memandang indahnnya lampu-lampu jalan maupun bangunan yang menyemarakan Kota Medan malam ini.

Pasti gara-gara beberapa kejadian yang berulang setahun terakhir di Cafe Sejoli, batin Judyth. Lamunnya terusik oleh kehadiran sepasang remaja yang baru masuk. Mereka tidak segera mencari meja.

"Ya...." keluh si gadis kecewa. "Tempatnya sudah penuh semua. Ini gara-gara macet tadi, sekarang kita nggak kebagian kursi. Cari cafe lain aja yuk?"

"Tunggu Rose," cegah pacarnya, lalu menunjuk ke dekat jendela. "Meja itu masih kosong, kita bisa duduk di sana."

Judyth melihat wajah Rose memucat.

"Aku tidak mau," katanya dengan suara lirih, agar bergetar seperti orang ketakutan. "Kita cari cafe lain."

"Tapi kenapa?"

"Kau lihat nomor meja itu?"

"Nomor 66. Ada yang aneh?"

"Apakah setahun ini kau tidak tinggal di bumi, Ken? desis Rose sambil membelalak pada kekasihnya. "Meja itu meja hantu!"

Kening Ken berkerut. "Meja hantu?"

"Iya. Sudah empat cewek yang meninggal, karena mereka bertengkar hebat, lantas si cewek melompat dari jendela dan mati! Meja itu angker dan membawa malapetaka!"

"Kau terlalu banyak nonton film horor."

"Ini kisah nyata, Ken, bukan rekaanku."

"Kita sudah mahasiswa," tegas Ken.

"Kalau meman benar meja itu angker, dan banyak orang mengetahuinya, kenapa cafe ini tetap ramai dikunjungi? Logikanya, orang pasti menganggap yang menyeramkan adalah cafe ini, bukan salah satu meja di dalamnya, jadi tak akan ada yang datang. Sekarang kau lihat sendiri keadaannya, begitu padat sampai kita nyaris kehabisan tempat. Ayolah, nanti...."

"Kau tidak mengerti!" desis Rose.

"Justru itu yang menjadi daya tarik cafe ini. Orang-orang seperti terobsesi untuk melihat dari dekat meja 66, meja kematian. Boleh percaya boleh tidak, kendati sudah empat gadis yang meninggal dengan cara serupa saat menempatinya, tapi cafe ini semakin laris. Aku ingat betul saat Cafe Sejoli ini dibuka dulu. Sampai dua bulan kemudian hanya dikunjungi paling banyak sepuluh orang setiap hari, padahal daya tampung kursinya sekitar seratus orang. Seperti katamu tadi, sekarang ini Cafe Sejoli nyaris penuh tiap jam, kecuali meja 66. Padahal menunya tidak seistimewa cafe lain di gedung ini."

Pemuda jangkung itu diam saja.

Meja itu tidak.... tidak..." Rose seolah kesulitan istilahyang tepat. ".... tidak wajar."

"Kau ini terlalu...."

"Sudahlah!" sergah Rose agak keras, membuat beberapa pasangan menatap heran. Buru-buru ia mengecilkan volume suara. "Pokoknya aku tidak mau duduk di situ. Kalau kau nekad, silakan, aku pulang sendirian juga nggak apa. Kau memang nggak perlu takut, soalnya yang akan meloncat dari jendela itu adalah aku dan bukan kau!"

Judyth melihat Ken agak serba salah.

"Oke, jangan marah lagi. Kalau kau memang tidak suka, silakan pilih cafe lain. Kita pergi sekarang."

Mereka berlalu. Judyth hanya menggidikkan bahu. Dalam kurun waktu ini, memang sudah terjadi empat peristiwa serupa yang menimpa pasangan-pasangan di meja 66. Tepatnya menimpa sang cewek. Seperti cerita Rose tadi, mulanya pasangan yang memilih meja itu nampak mesra. Mereka berbisik penuh cinta, bertatapan penuh rindu. Lalu perlahan keadaan berubah. Suara-suara yang semula tampak mendayu, mendadak seperti dibantu pengeras suara. Muda-mudi di situ bertengkar hebat, tak peduli jadi pusat perhatian orang banyak. Dan, bagai menyaksikan sebuah adegan lamban, berpuluh pasang mata disuguhi tontonan mengerikan saat sang gadis di meja 66 mendekati jendela lalu menjatuhkan diri secara mendadak.

Judyth menghela napas. Semua itu bukan kabar burung atau dongeng seram yang disebarluaskan untuk tujuan komersial, bukan pula iklan terselubung untuk menyedot perhatian masyarakat. Itu kisah nyata Judyth menyaksikan tiga peristiwa terakhir dengan mata kepalanya sendiri, mulai dari masuknya pasangan pasangan-pasangan naas itu sampai aksi "terjun bebas" si dara. Sekarang cerita mengerikan itu sudah menjadi mitos di mata masyarakat: meja 66 adalah meja petaka, pasangan yang menempatinya akan jadi pasangan paling merana. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, menyebut meja 66 adalah meja hantu.


Pendek kata, meja 66 seolah menjadi semacam tugu peringatan bagi muda-mudi yang ingin menghabiskan waktu di Cafe Sejoli. Lamunan Judyth terusik ketika sepasang remaja yang terlihat mesra berdiri tak jauh di sampingnya. Sama seperti Rose dan Ken tadi, kedua orang ini juga tampak ragu-ragu.

"Ya..." kata cowoknya.

"Tinggal meja itu yang kosong."

"Kenapa dengan meja itu?"

"Itu meja 66. Meja hantu."

"Ah, mitos!" sergah si cewek.

Judyth tersenyum samar melihat kecuekan gadis itu. Dalam hati dia menebak, si cewek pasti tipe manusia yang suka bermain dengan bahaya. Tunggu saja sebentar lagi

"Kau tidak percaya?" tanya si cowok.

"Cerita konyol itu?" cibir gadis itu. "Yah, memang kisah nyata, tapi pasti ada penjelasan yang logis."

"Kau mau menjelaskannya?" goda si cowok.

"Boleh. Aku akan menguraikannya secara psikologi. Menurutku, yang terjadi itu adalah suatu kebetulan...."

"Kebetulan?" si cowok mendelik. "Kebetulan tidak akan terjadi sampai empat kali, Pink."

"Aku belum selesai, jangan dipotong dulu. Kebetulan peristiwanya pernah terjadi dua kali pada meja yang sama dan dengan model tragedi yang sama pula. Lalu orang-orang mulai mengajukan teori teori senada sehingga membentuk sebuah mitos yang secara psikis mulai mempengaruhi siapa saja yang ingin menempati meja itu."

"Oke-oke, aku ngalah. Susah ngelawan mahasiswa psikologi," cetus si pemuda sambil menggandeng lengan gadisnya.

"Kesimpulannya, kau sama sekali nggak percaya, aku juga. Kupikir, pasti seru kalau kita bisa jadi pasangan yang mampu menepis kepercayaan umum. Tentunya kau tidak keberatan kalau kita duduk di sana."

"Aku setuju," sahut Pink.

Mereka langsung menuju meja 66. Judyth senyum tipis. Benar dugaannya, kedua insan itu memang pemberani. Hampir semua pengunjung cafe memandangi keduanya dengan sorot mata ngeri, seolah mereka adalah hantu penunggu meja yang setahun ini sudah menelan korban empat gadis belia.

Judyth kembali sibuk dengan lamunannya, berharap dapat bertemu dengan orang yang lama ditunggunya. Cewek bermata sendu itu menoleh ketika terdengar suara ribut-ribut seperti orang bertengkar mulut. Refleks matanya mencari sumber suara. Dilihatnya gadis di meja 66 sudah berurai air mata. Sedang yang cowok berteriak dengan wajah yang merah. Para pengunjung cafe mulai tegang, beberapa remaja puteri bahkan terlihat pucat. Tontonan gratis itu tidak berlangsung lama. Pink berdiri. Semua orang seolah terhipnotis saat ia mendekati jendela. Dan bagai sebuah adegan lambat, Judyth bersama puluhan orang lainnya menyaksikan tubuh mungil itu melompat, sebelum ada yang sempat bergerak. Tubuh Pink lenyap bersama jeitannya yang menyayat.

Detik itu pula kekasihya bagai tersadar dari mimpi. Dengan teriakan histeris ia memburu ke jendela, namun yang terlihat hanya sosok bersimbah darah di halaman gedung. Suasana cafe seketika penuh gumam, mulai ngeri sampai gumam prihatin. Yang paling banyak adalah gumam menyalahkan muda-mudi naas itu karena tidak mempercayai mitos meja 66.

Judyth menghela napas iba. Ini untuk yang keempat kalinya ia menyaksikan adegan serupa, berari korban yang jatuh sudah lima orang. Hatinya terenyuh melihat pacar Pink masih menjerit-jerit histeris menyalahkan dirinya. Sementara di luar, sirene polisi dan sirene ambulans menambah mencekamnya suasana. Judyth menyembunyikan tubuhnya makin ke sudut, saat matanya menangkap sesosok orang tubuh yang pernah dikenalnya dengan baik.

"Ternyata mitosmeja 66 itu benar," gumam sosok tadi, seorang dara manis, pada teman pria yang bersamanya. Mereka baru tiba, dan si cowok tengah mengamati kerumunan di jendela.

"Apa yang benar?" ulang si cowok.

"Mitos itu. Waktu dia mengatakannya, kupikir dia cuma menceracau. Sama sekali tidak kusangka kalau dendamnya yang membara benar-benar ditinggalkan di meja itu."

"Kau bicara apa sih? Lagi stres ya?"

Yang ditanya menunduk dalam dan menjawab dengan nada sedih. "Meja itu memang dikutuk, Bob...."

"Oleh siapa?"

"Gadis yang bunuh diri pertama kali setahun silam."

"Kau seolah tahu persis ceritanya," selidik Bob.

"Karena.... karena gadis itu...," dia mengisak, "Adalah teman karibku sendiri..."

"Astaga, June! Rahasia apa yang kau sembunyikan dariku?"

"Dia puteri pemilik cafe ini," tutur June parau. "Saat itu ia punya pacar, seorang teman kuliah yang pernah menyukaiku. Di malam naas itu mereka sedang berduaan di meja 66, ketika aku menghampiri untuk mengembalikan saputangang si cowok yang tinggal di ruang kuliah. Temanku curiga dan cemburu, lalu marah besar padaku. Baru kutinggal selangkah, mereka bertengkar."

"Lalu?" desak Bob.

"Dalam kesalnya, Dwi mengancam untuk memutuskan hubungan. Temanku yang malang kehilangan kontrol dan melompat...." June berhenti bicara, dua tetas air mata membasahi pipi halusnya. "Aku masih sempat menjenguknya di rumah sakit. Dia sudah sekarat waktu itu, tapi masih sanggup menikamku dengan sorot mata penuh dendam, pada detik-detik terakhir ia berkata akan mengutuk meja itu dan meninggalkan semua kemarahannya di sana, sehingga siapa pun yang menempatinya akan bernasib sama. Bob, a.. aku..."

"Ssshh... June, ini bukan salahmu," bujuk Bob sambil memeluk gadisnya. "Jauh sebelum kejadian itu, kau kan sudah punya aku."

"Tapi Judyth tidak tahu, dia tetap berpikir kalau aku ingin merebut Dwi," isak June. "Aku merasa akulah penyebab segala. Tolong aku, Bob, aku tak ingin Judyth terus mendendamku dari alamnya."

"Kita pergi, June, kau bisa terguncang kalau terus di sini," Bob merangkul bahu June dan membawanya melangkah.

Judyth segera keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung menempatkan diri di depan keduanya, mencoba menghalangi gerakan mereka. Tapi.... wuuussss..... mereka menembuh tubuhnya. Judyth hanya bisa menatap geram. Sudah setahun dia menunggu mantan sahabat karibnya itu datang bersama seorang cowok, lantas memilih meja 66 agar dendamnya terbalaskan. Tapi baru sekarang June muncul, dan itu pun sudah lenyap dikeramaian tanpa masuk ke cafe.

"Demi setan-setan di neraka," gumamnya dengan bola mata menyala, "Aku tidak akan mencabut dendamku sebelum menyaksikan June mengalami apa yang menimpaku, jadi akan makin banyak korban yang jatuh untuk menemaniku di kegelapan!"

Suasana Cafe Sejoli berangsur tenang. Judyth kembali ke tempatnya semula, di sudut yang gelap, mengawasi dan menunggu pasangan pemberani yang akan menjadi korban ke enam. Kalau sekarang kau ada di sebuah cafe, lalu nomor mejamu 66, dan letaknya dekat jendela... hati-hati saja. Judyth sedang mengawasimu, siapa tahu kau tumbal berikutnya. Meja 66 dan korban ke 6 bukan angka yang baik, setan-setan menyenanginya. (dnl)

Selasa, 29 Januari 2013

Pertalian Hati

Pertalian Hati
Cerpen: M. Amin Taufani

Bagaimana kalau salah satu melihat Galang, tentu ada Lia senyum-senyum membaca apa yang sedang ditulis kakaknya. Tulisan dengan kalimat yang indah dan penuh makna. Menggambarkan perasaan hati dan kerinduan pada seseorang. Ingin rasanya pada saat itu Lia berkomentar, tapi khawatir mengganggu penghayatan Kanty pada tulisannya.

Dari kamar Kanty cewek berambut panjang dan dikepang ini menuju tempat Ratih kakaknya juga. "Aneh apa ini musim orang jatuh hati?" gumam Lia, karena dilihatnya Ratih sedang bertopang dagu dengan berekspresi membayangkan wajah seseorang, Lia mendekati Ratih dan duduk disampingnya. Ratih sendiri mengeserkan duduknya memberikan tempat Lia. "kok tahu aku datang, kukira sedng melamun," kata Lia santai.

"Memang sedang melamun. Kamu saja yang mengganggu," ujar Ratih.

"Mau tanya kak, ini musim jatuh hati ya kak?"

"Siapa yang bilang?"

"Engga ada cuma menarik kesimpulan."

"Kesimpulan? Sok tahu kamu," ujar Ratih setengah tertawa mendengar kata-kata Lia yang bicara dengan gaya orang besar.

"Ya tadi ditempat Kak Kanty, ia sedang menulis puisi tentang hati. Dan di sini Kak Ratih pun sedang melamunkan seseorang. Benar bukan?"

Kalau benar bagaimana?"

"Aku diberitahu orangnya."

"Boleh tapi rahasia."

Lia mengangguk.

"Galang."

"O, Mas Galang si kutu buku itu."

"Ingat rahasia," tegas Ratih saat Lia berteriak menyebut nama Galang.

"Kamu besok ada acara?" lanjut Ratih yang khawatir adiknya akan membicarakan cowok idamannya ini atau mungkin akan bertanya macam-macam.

Lia menepuk jidat, lalu menggeleng. "Mau ngajak kemana?"

"Besok temani aku ke perputakaan."

"Kalau aku bisa.

Sebenarnya Lia bukanlah adik kandung bagi Kanty dan Ratih. Mereka bertemu di sekolah sebagai kakak dan adik kelas. Dan karena mereka aktif mengikuti kegiatan ekstra kulikuler bersama membuat mereka lebih cepat akrab. Ditambah lagi orang tua Lia juga menganggap dua anak ini layaknya anak sendiri. Sehingga secara tidak langsung ketiganya merasa telah menjadi saudara.

Bagi Lia untuk bermain di kamar Kanty atau Ratih sudah biasa. Dan kali ini i masuk kamar Kanty untuk mencari tahu tentang orang yang sedang diincar oleh Kanty. Telah hampir sepuluh menit Lia membuka-buka buku. Mungkin ada nama cowok disana. Lia berinisiatif demikian karena ia tahu kebiasaan Kanty yang menulis sesuatu dibukunya.

"Nah kebetulan kamu ada disini," suara Kanty mengejutkan aktivitas Lia.

"Kebetulan apa Kak Ti?"

"Kamu jaga kamarku."

"Kak Ty mau kemana?" Lia heran melihat Kanty yang tergesa.

"Perpustakaan."

Lia hanya mengangguk lalu kembali membuka buku lagi. Dan... "Galang," batin Lia ketika matanya menatap sebuah nama tertulis indah di pojok sebuah buku yang ditulis dengan tulisan yang indah. Jadi Kak Kanty juga suka Mas Galang? Wah payah, pikir Lia. Bagaimana jika keduanya tahu kalau orang yang disukai sama jangan-jangan mereka nanti bermusuhan, apa yang harus akku lakukan, batin Lia.

Celaka.... Lia tersentak. Ia ingat, kemarin Ratih mengajaknya keperpustakaan dan tadi juga Kanty akan ke sana. Rupanya mereka punya rencana yang sama, yaitu ingin bertemu Galang yang memang suka sekali berlama-lama di perpustakaan. Bagaimana kalau salah satu bertemu Galang dan yang lain melihat, tentu akan cemburu. Tidak, jangan sampai terjadi. Aku harus mencegah mereka tidak saling bertemu, batin Lia lagi.

Lia segera meninggalkan kamat Kanty dan menuju perpustakaan. Ia jadi gelisah bila kendaraan yang ditumpanginya berhenti untuk menaikan atau menurunkan penumpang, karena perjalanan jadi terhambat. Seandainya ia punya kuasa tentu akan meminta penumpang lain untuk mengalah, agar dirinya lebih cepat sampai tujuan. Akhirnya Lia menarik napas lega, setelah tiba di perpustakaan. Tapi hanya sesaat, karena ia harus mencari Galang, Ratih dan Kanty, serta membuat cara agar mereka tidak saling bertemu.

Pertama yang ditemukan adalah Galang. "Sudah lama Mas Galang? sapanya sedikit gugup.

"Lumayan. Kamu sendirian Lia?"

Lia mengangguk, tapi matanya berkeliling mengamati orang-orang di sekitarnya.

"Kamu cari siapa Lia?" tanya Galang yang memperhatikan kegelisahan Lia.

"Tidak Mas baca aja terus!" sahut Lia sambil menarik kursi dan mendudukinya. Untuk mengurangi rasa gugup, diambilnya sebuah buku sekenanya lalu pura-pura konsentrasi membaca.

Galang hanya tersenyum, namun matanya diam-diam mencuri pandang pada gadis di depannya. Sementara Lia sendiri kadang melihat ke arah Galang, maksudnya untuk melihat keadaan sekitar tanpa dicurigai menakala mata mereka bertemu Lia hanya tersenyum dan Galang kembali pada bukunya tentu setelah membalas senyum Lia. Cukup lama mereka kucing-kucingan dengan tujuan masing-masing.

Usaha Lia tidak sia-sia. Dilihatnya Ratih tengah berada diantara rak-rak buku sambil memilih-milih. Tapi arah jalan Ratih meskipun pandangannya tertuju pada buku-buku di depannya tapi menuju ke tempat dimana dirinya dan Galang berada. Harus dicegah.

Mau kemana Lia?" tanya Galang ketika Lia beranjak pergi.

"Ambil buku," jawab Lia singkat.

"Aku jua mau ambil buku pariwisata," ujar Galang mengikuti Lia.

"Jangan biar aku saja yang ambilkan," Lia buru-buru mencegah.

Galang mengalah, ia kembali duduk. Sedang Lia dengan perasaan tak menentu mendekati Ratih dengan sesekali menoleh pada Galang.

"Cari buku apa Kak?" suara Lia seperti membuat kejutan didekat Ratih agar terlihat wajar.

"Lho kok kamu di sini?"

"Kak Ratih kan kemarin minta aku temani jadi ya aku menemani Kak Ratih," jawab Lia mantap karena bisa menemukan jawaban tepat.

"Ya sudah kita cari tempat duduk," ujar Ratih setelah mengambil sebuah buku dan berjalan menuju dimana Galang berada.

"Jangan ke sana Kak," rajuk Lia.

"Kenapa?"

"Nggak enak banyak cowoknya."

Ratih menuruti saja tanpa merasa curiga sedikitpun. Padahal kalau ia tahu Galang ada di tempat yang ia tuju tentu akan mengajak Lia ke sana. Beberapa menit terasa tenang bagi Lia, tapi begitu Galang tidak ditempatnya Lia jadi gelisah.

"Pasti Mas Galang mencariku," batin Lia.

"Sebentar Kak," pamit Lia. Begitu Lia berdiri dari arah berlawanan dengan Kanty muncul.

"Kak Ratih duduk saja, baca dengan tenang dan jangan tengok-tengok," pinta Lia.

"Ada apa?"

"Nothing pokoknya tenang saja."

Dengan hati berdebar Lia mencari Galang tapi juga harus menghindari Kanty. Ia tetap bertekad untuk tidak mempertemukan ketiganya.

"Heh bengong di sini," tegur seseorang dari belakangnya.

"Oh ya Mas Galang juga di sini," sahut Lia menutupi rasa terkejutnya.

"Cari kamu. Kupikir sudah pulang atau sedang kecantol seseorang," goda Galang. Lia cuek saja menanggapinya. Keduanya lalu berjalan santai. Jantung Lia kembali berdebar dilajur rak sebelahnya, Kanty juga sedang berjalan ke arah berlawanan. Kanty tampak mengamati buku yang mungkin akan diambil. Karena deretan buku disitu tinggal beberapa sehingga sangat mudah untuk melihat orang di sebelah. Lia mengambil buku yang cukup besar untuk menutupi celah yang kemungkinan Kanty bisa melihatnya.

"Kamu sedang apa Lia?" Galang heran melihat tingkah Lia.

"Jangan triak-teriak," Lia bicara setengah berbisik.

"Ada apa?" Galang ikut berbisik, Lia menggeleng dan memberi isyarat Galang untuk jalan lebih dulu.

"Hari ini kamu aneh sekali Lia?"

"Aneh kenapa?"

"Kamu seperti sedang gelisah dan ketakutan," tebak Galang setelah mereka duduk.

"Nggak juga nyatanya aku masih bisa tertawa," elak Lia sambil memperdengarkan ketawanya. Galang geleng-geleng bukan hanya karena tingkah Lia, tapi juga ketawanya yang mengganggu lingkungan.

"Lia!" sebuah suara menghentikan tawa Lia seketika. Suara cewek. Ia merasa tulang-tulangnya seperti dilolosi sehingga badannya menjadi lemas. Perlahan Lia memutar leher. Demikian juga Galang. Terasa longgar rongga dada Lia saat ia tak mengenal orang yang memanggilnya. Rupanya hanya persamaan nama saja. Pada kesempatan itu pula Lia dapat melihat Kanty dan Ratih di tempatnya masing-masing.

"Lia kita pulang," Galang berdiri dan berjalan keluar yang kemudian diikuti Lia dengan hati-hati. Ia merasa berhasil meski sementara.

"Besok aku ke rumahmu," janji Galang di luar gedung perpustakaan. Lia hanya mengiyakan dengan mengangguk.

"Aku suka kamu Lia," kata Galang saat menemui Lia keesokan harinya.

"Suka aku maksudnya?"

"Ya suka kamu dan inginkan kamu menjadi milikku," ujar Galang tegas.

"Tapi kakak-kakakku......" kata-katanya terhenti terhenti tak sampai mengatakan hal yang sebenarnya.

"Kenapa apa karena mereka belum punya cowok?"

Lia tak menjawab.

"Baiklah kalau begitu aku akan minta izin pada mereka," Galang memutuskan. Lia masih diam dan tak peduli saat Galang meninggalkannya.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Sepekan setelah pernyataan Galang pada dirinya ia tak merasa adanya perubahan pada sikap Kanty dan Ratih. Mereka tetap biasa. Bahkan keduanya sering menggoda Lia yang tiba-tiba jadi pendiam. Namun ada juga kegembiraan yang menyelinap di hatinya. Ia berpikir Galang belum mengatakan apa yang pernah dijanjikan padanya untuk minta izin dari Ratih dan Kanty. Bagaimanapun juga ia tak bisa mengkhianati dua kakaknya untuk menerima Galang.

Hari-hari berikutnya Lia kembali ceria.

"Nah gitu dong jadi anak jangan cemberut."

"Siapa yang cemberut?" tangkis Lia.

"Ya kamu itu."

Lia hanya senyum simpul.

"Lia benarkah kamu anggap kami ini kakak-kakakmu?" Ratih bertanya serius. Lia tampak bingung namun ia jelas mengiyakan.

"Kalau begitu maukah memenuhi permintaan kami?" kali ini Kanty yang bicara.

"Permintaan apa Kak Ti?"

"Jawab dulu, Lia mau memenuhinya?"

Meski tak tahu apa yang dimaksud Lia menyanggupinya.

"Terimalah Galang dihatimu Lia."

Lia terkejut dipandanginya dua wajah didepannya. Penuh kedamaian. Tak ada kekecewaan dan keterpaksaan. Sebelum Lia berkomentar, Ratih telah menjelaskan tentang maksud Galang yang datang pada mereka. Ratih pun menambahkan, mereka memang suka Galang tapi lebih suka lagi, kalau Lia menerima Galang. Karena ini mempererat pertalian persahabatan dan persaudaraan di antara mereka. (*)