Ini Cara yang Tepat Menyatakan Cinta

Tidak banyak perempuan yang berani untuk mengungkapkan perasaannya dan malah memilih untuk memendamnya entah sampai kapan. Sebenarnya, menyatakan cinta itu sah-sah saja selama anda menggunakan cara yang sopan dan tidak berlebihan.

Mengetahui Kadar Cinta Si Dia

Keingintahuan merupakan hal yang sangat wajar dalam kehidupan manusia. Keingintahuan dapat terkait dengan banyak hal dan salah satunya mengenai pasangan anda. Berikut beberapa tips untuk mengetahui kadar cinta si dia

Ada Banyak Cara Melupakan Mantan Pacar

Setiap hubungan percintaan pasti mengalami masa-masa yang sulit untuk bisa saling memahami perbedaan yang ada. Seringnya perbedaan tersebut malah membuat hubungan tersebut menjadi sangat buruk kualitasnya. Tidak jarang hal ini mengakibatkan putus cinta

Lewat Surat Cinta Bisa Lebih Ungkapkan Romantisme

E-mail, SMS, sampai instant messenger memang sangat mempermudah komunikasi kita dengan orang lain. Namun, ketika sedang menjalin kasih Anda pasti tak ingin menerima ucapan cinta melalui pesan singkat saja. Untuk mengatasi kebosanan dan membuat hubungan semakin romantis, tak ada salahnya untuk kembali menggunakan cara tradisional, yaitu surat cinta. Meski terbilang jadul, melalui surat cinta Anda bisa lebih puas mengungkapkan perasaan dengan kalimat yang lebih romantis. Apalagi jika surat itu Anda selipkan ke tangannya dilengkapi setangkai mawar merah.

Pada Bulan Merah Akankah Kau Pulang

Sampai penantian itu berbilang tahun --20 tahun hingga kini-- bagai kumbanng putus tali. Hilanng tanpa kendali. Andaikata pula ia tersesat, mestinya aku tahu di mana rimbanya. Kalaupun ia wafat, aku berharap tahu pula di mana tempat kuberziarah.

Doa Sebutir Peluru

Engkau teerdiam, bersarang di dalam leher seseorang setelah sebelumnya menerjang, berteriak garang. Engkau masih terdiam ketika leher yang kau lubangi itu mengucurkan darah merah, memulas tanah, mengguris hitam pada sejarah. Kemudian perlahan engkau meringis, mulai menangis, memaki segala macam tragedi sementara tubuhmu tak dapat bergerak, tetap berdiam di tubuh manusia malang itu.

Rabu, 26 November 2014

Kisah Cinta Tan Bun An dan Siti Fatimah

Pulau KemaroOleh Putra Kurusetra

Ada sebuah kisah atau legenda yang mengiringi setiap kali perayaan Imlek di Palembang. Kisah ini menunjukkan sebuah sikap pembauran antara etnis Tionghoa dengan Melayu di Palembang. Legenda itu terkait dengan percintaan Tan Bun An dengan Siti Fatimah, yang berlangsung di masa Kerajaan Sriwijaya.

Kini, makam Siti Fatimah dan Tan Bun An berada di Pulau Kemaro, sebuah delta yang berada di Sungai Musi. Delta ini tak jauh dari lokasi Kuto Gawang, yang kini menjadi lokasi pabrik PT Pupuk Sriwidjaja. Kuto Gawang merupakan kota tempat berdiamnya pemerintahan Kerajaan Palembang. Bahkan diyakini pula sebagai kota di masa Kerajaan Sriwijaya.

Setiap kali perayaan Imlek, Pulau Kemaro selalu dijadikan pusat perayaan. Sebab selain terdapat makam Siti Fatimah, yang lokasinya berada di dalam Klenteng Hok Tjing Rio, juga terdapat sebuah kuil Budha. Selama perayaan Imlek 2012, di Pulau Kemaro dihiasi sekitar 2.00 lampion.

Nah, kembali ke legenda itu.

Berdasarkan berbagai sumber, maka diceritakan, dahulu kala, di masa Kerajaan Sriwijaya, Palembang sebagai pusat pemerintahan terdapat sebuah perguruan tinggi agama Budha yakni Sjakhyakirti. Lalu salah satu pangeran dari Tiongkok, yang bernama Tan Bun An menuntut ilmu di perguruan tinggi tersebut.

Dalam proses belajarnya di Palembang, Tan Bun An mengenal seorang putri dari seorang pangeran Palembang yang beragama Islam. Namanya Siti Fatimah. Mereka pun jatuh cinta, dan sepakat menikah. Orangtua Siti Fatimah setuju, begitu pun dengan orang tua Tan Bun An.

Tan Bun An kemudian mengirim seorang pengawalnya pulang ke Tiongkok untuk meminta emas kawin. Tentu saja permintaan ini disetujui orang tua Ta Bun An. Mereka pun mengirim keramik, guci, koin emas dan perak. Agar tidak dicuri atau dirampok di tengah perjalanan, semua emas kawin itu diletakkan di dalam guci raksasa yang di atasnya diletakkan sayur-sayuran. Panglima maupun hulubalang yang membawa guci-guci itu sama sekali tidak tahu keberadaa emas kawin tersebut.

Namun, saat kapal bersandar di pelabuhan Kuto Gawang, Tan Bun An terkejut, sebab tidak ada barang yang sesuai dengan permintaannya. Dia hanya menemukan puluhan guci berisi sayuran. Tan Bun An pun marah. Kesal. Dia menyangka kedua orangtuanya tidak setuju dirinya menikah dengan Siti Fatimah.

Sambil emosi dibuangnya guci-guci itu ke Sungai Musi. Tapi saat guci terakhir, guci kesembilan dibuangnya, guci itu terjatuh di tepi kapal, pecah, sebelum jatuh ke Sungai Musi. Lalu terlihatlah sejumlah benda berharga seperti yang dimintanya, seperti keramik, koin emas, dan koin perak.

Tan Bun An terkejut melihat hal tersebut. Dia pun sangat menyesal. Diperintahnya panglima dan para hulubalang untuk mengambil kembali guci-guci yang sudah tenggelam ke Sungai Musi.

Sayang, guci itu tak ditemukan. Bahkan panglima dan para hulubalang tidak muncul lagi ke permukaan air. Tan Bun An memutuskan turut terjun ke Sungai Musi mencari guci-guci tersebut. Nasibnya pun sama. Dirinya tenggelam di Sungai Musi.

Mendengar kabar itu, Siti Fatimah yang berada di rumah, menjadi sedih. Dia pun minta diantar dayang-dayangnya ke lokasi kejadian. Sungguh mengejutkan, di lokasi kejadian, Siti Fatimah tak dapat menahan rasa sedihnya, dia pun terjun ke Sungai Musi.

Tak lama kemudian, di lokasi kejadian muncul sebuah delta kecil yang di atasnya terdapat dua unggukan tanah seperti kuburan atau makam. Masyarakat Palembang pun percaya bahwa dua unggukan tanah itu merupakan makam Tan Bun An dan Siti Fatimah.

Sementara etnis Tionghoa, sejak saat itu sering berziarah ke delta tersebut, hingga ahirnya pada tahun 1962 di lokasi makam Tan Bun An dan Siti Fatimah dibangun Klenteng Hok Tjing Rio.

Namun, keberadan Pulau Kemaro ini memang memiliki banyak sejarah. Disebutkan di lokasi itu didirikan sebuah benteng oleh Kesultanan Palembang Darussalam buat menghadang para tentara VOC yang ingin menyerang Palembang. Selain itu, seusai Peritiwa 30 September 1965, di lokasi itu didirikan sebuah camp buat menampung tahanan anggota PKI dan simpatisannya.

Kini, sejak tiga tahun terakhir, para pemburu benda beharga di Sungai Musi, selalu menyelam di sekitar Pulau Kemaro. Mereka percaya legenda Tan Bun An dan Siti Fatimah itu ada benarnya, sehingga mereka berharap menemukan benda-benda berharga yang terbuang di Sungai Musi tersebut.



------------------------------------------------------
Berita Musi, 24 Januari 2012 04:17 AM



Pulau Kemaro

Minggu, 03 Agustus 2014

Nol Berhamburan

Nol Berhamburan

Oleh: Abidah El Khalieqy



Terasa nyaman waktu. Sebab kita tak sendiri. Sinyal-sinyal indah meretas jarak antara langit dan bumi. Makin kuhikmati dirimu. Semestamu. Makin terang cahaya di atas lembaran buku-buku. Nol berhamburan. Keramaian politik bergeming memmbaca rindu alif-ba-ta-mu.

Membentang luas cakrawala di cekung matamu. Gugusan awan mencair, menjelma hujan. Hilang jarum jam dari dari menit dan detik. Namun api di dada masih tetap membara sampai jua rinduku di titik nadir. "Turunkan rindu ini. Cintaku, aku tak kuat lagi!"

"Ke mana akan turun, rindu itu selamanya surga."

"Surga pertama atau kedua?"

"Lebih dari Adam dan Hawa, dalam rindu kita tak ada surga kedua."

"Ke mana pun, asal tak di sini. Aku ingin meloncat keluar!"

"Jangan! Nanti terpercik api."

"Sesekali aku ingin terjilat."

"Jangan berlebihan! Kau nanti bisa hangus."

"Oleh apa?"

"Api cinta!"

"Seberapa kobarannya?"

"Lebih membakar dari tujuh jahanam."

"Tapi aku ingin, sesekali merasai kobarnya."

Rupanya, bukan aku saja yang terbakar. Engkau pun terbakar seperti para muda kasmaran cinta. Matamu merah. Senyum bibir di wajahmu juga merah. Aku terpana, menatap cahaya menyinar dari aorta seluruh tubuhmu. Sepanjang langitmu serasa cerah.

"Katanya dah siap menjadi Rabiah?"

"Otomatis! Jika kau juga serupa Ibrahim Adham!"

"Jadi?"

"Kita mesti mengembara, memadamkan api di dada."

"Bukan! Tapi menaklukan rimba. Semesta rimba raya."

"Termasuk rimba diri?"

Entah! Berjuta jam berdetak di jantung. Ingin turun dari langitmu, menjejak fakta di bumi cinta. Mengharu biru jejak rindu. Seberangi tujuh lembah, tujuh samudera, tujuh gunung, dan tujuh belantara. Hingga fajar ditembus mentari, berbilyun watt cahaya. Menikahkan langit dan bumi, aku dan engkau, semarakkan jagat sunyi. Surga abadi turun dari galaksinya, menawarkan buah khludi.

Seperti butir debu yang pertama kali merangkaiku, debu demi debu menggulung tubuhku. Maka terbanglah aku merunuti semesta, keliling memutari timur yang jauh, barat yang sekarat, di balik kutub utara dan selatan, amblas terbenam ke dasr bumi. Coba mengingat dan mengenangmu tanpa jeda sampai kita dipertemukan di alam, saling berpacu dalam melodi cinta.

Dan kini kita telah kembali, dipangku hijau bumi. Putik-putik rindu menguntum lalu mekar. Lahirlah kata-kata, puisi dan cinta. Kueja satu per satu frasanya, melintasi doa, coba pisahkan aku dan kau dalam kerinduan. Bermiliar galaksi menyusun bintang. Mengedar planet dan bulan, berenang sepanjang garis edar dalam keserasian. Aku dan kau yang ditetapkan baginya, tak kuasa.

Aku pun pulang dan kembali dalam rumah kehidupan. Merawat cinta di bawah matahari. Tapi efeknya, wajahku kehangusan, lidahku kelu menjawab pertanyaan.

"Kau ingin pergi dari nyata?"

"Bukan! Aku hanya ingin melihat wajahmu di cerminku."

"Tak perlu, akan kuambil seluruh cermin agar kau bisa tetap merawat cinta."

Sungguh ajaib. Kata tetangga, wajahku cemerlang penuh cahaya. Bersama keikhlasan yang tak rampung kumengerti, aku sedih karena tak bisa lagi menikmati wajah tampanmu.

Aku sabar mengingat pengorbanan cinta walau purnama berganti seribu kali.

"Jika rindu menyergap, tatap lekatkah langit cintamu?"

"Yups! Separo wajahmu tergambar di sana."

"Bagaimana dengan kau sendiri?"

"Ehm, aku agi siap-siap untuk..."

"Untuk apa? Jadi relawan bumi pertiwi penuh korupsi?"

"Bukan! Aku ingin..."

"Ingin menjadi relawan penjajah negeri?"

Wajahmu membiru, senyummu kaku. Aku tak kuasa ingin meraihmu. Mencabut kembali tanyaku. Sendu pilu mendera aorta. Awan berarak di ubun-ubun. Matahari tidur dan angin ikut libur. Nyeri di dada kian mematri.

"Ya. Seperti rencana semula. Aku ingin bertapa di dasar jiwamu."

"Agar aku tak repot jika ingin menyusulmu?"

"Kalau tak sanggup, biarlah cinta kembali bersamaku."

"Mana mungkin? Tinggal ini kenangan, aku bisa mati tanpa cinta."

"Jika begitu, aku berangkat duluan nuju kerajaan."

Kerajaan siapa?"

"Ibrahim Adham!"

"Dan aku...?"

"Rabiah Adawiyah!"

"Jika kukatakan, pemenuhan tugasmu lebih tinggi nilai dibanding senyap gua Rabiah, aku tak yakin kau tak bakal membantah."

"Begitukah?"

"Ya. Telah mendalam aku selam. Aku hapal luar dalam."

"Tentang apa?"

"Cinta dan kerinduan. Mahabbah dan Sauqiyah. Aku dan kau."

"Haha! Sok tahulah! Tapi benar juga. Masa kita sama manusia, tempuhan jalan mesti berbeda. Rasa-rasanya, aku ingin, kita berangkat bareng bertiga."

"Bahkan Ibrahim Adham pun cemburu. Untuk apa lagi ia harus ikutan nuju istana itu? Istana, kerajaan, dan mahkota, telah tersemat lekat di atas kepalanya. Engkau pangeranku..."

Tatapmu beralih, mendesahkan nasib yang memuja. Makhluk tak berada telah menundukkan semesta adamu, sekaligus mengerjaimu bertumpuk halaman, berjilid pengetahuan tentang makna hidup. Inti cinta.

Hakikat pengorbanan. Membuat aku tak mau menyerah, ingin sejalan seirama. Jika kau pergi dan masuk ke gua Adham, sendiri aku tak kuat berjalan.

"Baiklah, aku tak punya pilihan lagi selain menahan waktu yang akan menghapusku dari keberadaanmu."

Atas nama lepuh cinta, mulut manusia bercuaca membakar apa saja yang dianggap tak memiliki cita-rasa. Apa salah para pecinta hingga rela dipanggang seperti irisan daging kambing di atas tungku. Disayat-sayat, dilukai, dan dikutuki.

Hanyalah cemburu pada aroma yang merangsang lidah untuk bergoyang. Sampai cinta migrasi. Jikalah ada planet biru yang siap menunggu, akan kubangun rumah rindu yang baru. Tapi di manakah planet itu berada, dan mampu tinggalkan masa lalu.

"Sudah lenyap planet itu, di gempa abad."

"O ya nasib...! Kalau negeri angin, masih adakah jejanya?"

"Kudengar masih. Nanti kulihat jadwal pesawat, kalau-kalau ada penerbangan nuju sana."

Ternyata negeri rindu itu masih terpeta di bumi. Ada fakta. Ada penerbangan pagi dan siang nuju sana. Kami suka cita membaca cuaca cerah dan semlir angina dikirim langsung dari laut cinta, mengipasi hati untuk terus berbenah. Perjuangan mesti berderap doa, si lemah terpapar derita, maju menggema bergulung bak gelegar guntur merindu redam.

Cintaku padamu, Kekasih. Munajat tanpa ampun. Menggedor langit menyibak Arsistawa! Bukan hanya Chairil Anwar, Kekasih, aku juga tak bisa berpaling. Hilang bentuk, hilang rupa. Dilecur rindu, lari pontang-panting nuju cakrawala, stasiun, terminal, pelabuhan, dan bandara. Lalu-lalang manusia, mata-mata asing dan langkah terburu. Radiasi nuklir darurat cinta.

"Pakai masker dong!"

"aku tak biasa masker. Bahkan takut melihat para pengguna masker pelindung, seperti hantu di televisi, ditanda dua titik hitam, mata kiri dan kanan. Berkali sudah diterang-jelaskan, bahaya nuklir lebih mengerikan dibanding vampir, karena benar-benar bikin leher kehilangan jarak paling dekat antara aku dan kau. Aku hanya tahu, masker bikin sesak napas saja. Ogah, ah! Walau nuklir itu cintamu."

'Telah diciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, duka dan bahagia yang terus berputar di garis edarnya."

"Dan tahu dari dulu sejak aku bertemu dengan cintamu."

Kau pun diam dalam fakta-fakta. Menjelajah astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar Solar Apex. Terus bergerak sejauh 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, planet, dan satelit, aku dan kau juga berjalan menempuh jarak ini. Demi cinta yang tak pernah redam di dada.

"Benarkah?"

"Ya. Karena itu bukan kisah biasa. Tapi kisah cinta antara aku dan kau yang nestapa. Sampai-sampai langit pujangga menangis, mengolam airmata, bahkan mendanau. Namun di seberang danau itu, aku yakin suatu saat nanti kan terlihat kuntum demi kuntum mawar surga bermunculan. Wangi selaksa parfum bidadari. Mekar sepenggal bumi, sepotong waktu, tempat kita bercumbu mengekalkan makna setia. Hilanglah dunia seisinya jadi cemburu."

Kau diam diujung daun talas sehabis hujan. Lantas kubangun rumah rindu, sebisanya. Dan menyala bagaikan cahaya mengundang laron-laron saling berbondong ingin bertetangga.

Membangun rumah rindu, berjajar-jajar seperti seperti bintang di langit biru. Lantas kita pun sepakat, merayakan kampung rindu di negri antah baratah.

"Negeri rindu langit arsistawa, Bukan?

"Mungkin ya, mungkin juga bukan, karena aku dan kau masih serupa manusia."

Wajahku ngungun. Sepi sendiri di bawah singgasana, di antara kilatan cahaya kubah dan tiang-tiang yang dipikul para malaikat utusan Maha Pemurah yang bersemayam di atas lengkung tujuh langit. Tak berwujud. Bukan seperti singgasana para raja, atap rumah atau pilar dari logam mulia. Apalagi menjadi bagian dari punggung kaki, jejak cinta di gurun Layla-Majnun.

"Pusat pengendalian segala persoalan alam semesta, maksudmu?"

"Bisa jadi. Sebab cinta yang bersemayam di langit arsistawa bakal mengatur segala urusan."

"Urusan apa?"

"Urusan cinta antara aku dan kau!"

Tak dinyana, aku menggelapar di tengah kesunyian. Seribu kata berpendar lepas dari kesombongan hati. Bermiliar jarak menghiba di urat nadi. Coba terbang mengelilingi cakrawala semesta dengan sayap cinta. Dan gagal berkali-kali, tak kuasa mengejar malaikat bersayap cahaya yang bisa terbang ke mana saja. Seperti ayat-ayat suci menempel di jejak nol kilometer antara Adam dan Hawa.

Hatta mathla'il fajri. Kucari-cari cintamu hingga matahari sepenggalah. Namun apa daya, aku tetap mendebu di sini. Menunggu rumah rindu dikelilingi fakta bumi dan rupanya, belum juga beranjak dari tempat semula. Menggelepar sunyi. Menggapai-gapai matahari menyinari cinta di negeri zamrud khatulistiwa.

"Negeri Indonesia Raya maksudmu?"

"Tak ada negeri tanpa rindu. Tak ada Indonesia Raya tanpa cinta!"

"Hatta mathla'il fajri. Lailatul Qadar mengaji sepanjang malam, menapaki jejak-jejak kehidupan. Nol berhamburan di antara sepi dan sunyi. Menunggu kesejahteraan merata dikeliling fakta bumi, kedamaian dan keselamatan, namun rupanya belum juga beranjak. Masih melata sepertti semula.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Abidah El Khalieqy, penulis novel best seller Perempuan Berkalung Sorban. Tinggal di Jogjakarta

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 3 Agustus 2014

Minggu, 27 Juli 2014

Seekor Kupu-Kupu dalam Kebun Bunga Tanalia

Seekor Kupu-Kupu dalam Kebun Bunga Tanalia
Masya kehilangan Tanalia, berhari-hari Masya menunggu kepulangan anak perempuan dua belas tahun itu. Ia sudah lapor polisi. Belum ada hasil apa-apa. Sementara itu, Tanalia asyik bermain bersama kupu-kupu dalam kebun bunga di dinding kamarnya. Kebun bunga yang menempel di dinding keramik hadiah dari Masya. Bukan kebun bunga sungguhan, namun begitu, di mata Tanalia, bunga-bunga di sana benar-benar hidup.

Ia selalu mengira mamanya belum pulang kerja. Masya memang biasa kerja lama sekali. Kadang Tanalia bosan menunggunya pulang. Betapa ia ingin mamanya seharian di rumah saat ia libur sekolah. Tapi mamanya harus kerja. Tanalia tahu ia tidak punya seorang papa. jika tidak kerja keras bagaimana kita bisa makan? Itu yang sering dikatakan Masya pada Tanalia. Karena itu, hanya kupu-kupu yang bisa menjadi temannya.

Tapi, kupu-kupu itu hanya satu ekor. Kupu-kupu yang kesepian. Kupu-kupu itu mengatakan tidak bisa lama bermain bersama Tanalia. Ia akan mencari cahaya bersama teman kupu-kupunya pada saatnya kelak. Tanalia tidak ingin kupu-kupu itu pergi. Ia keluar mencari kupu-kupu yang barangkali saja hinggap di pohon jambu sedang berbunga milik tetangganya.

Tanalia mau menambah kupu-kupu di kebun bunganya. Supaya tak ada lagi yang kesepian. Supaya kupu-kupu tak perlu pergi mencari cahaya. Belum satu ekor kupu-kupu pun yang Tanalia temukan. Semua kupu-kupu seolah menghilang. Tanalia mendongak ke langit. Ia kaget. Ada titik besar d langit sana. Titik itu bergerak, melintas di atas kepalanya. anak-anak yang sedang bermain berbondong-bondong mengejar titik besar yang terus bergerak itu. Tanalia ikut-ikutan bersama rombongan anak-anak. Meeka menunjuk-nunjuk tanpa suara, seolah sedang melihat benda asing dari dunia lain.

"Itu kupu-kupu," kata Tanalia. Semua mata serentak menoleh padanya. Lalu kembali pada sesuatu yang melintas di langit. Tanalia berhenti mengejar. Ia ingat pada kupu-kupu di kebun bunga di dinding kamar. Ia berlari, kembali ke rumah. Sampai di halaman, ia berbalik sesaat, melihat lagi ke langit. Rombongan kupu-kupu itu terus menjauh. Terus terbang tinggi. Dada Tanalia berdegup-degup.

"Kau pergi," gumamnya menahan tangis. Tentu saja yang dimaksud Tanalia adalah kupu-kupu kuning yang ia sembunyikan dari Masya.

"Kau sungguh sudah pergi?" bisik Tanalia pilu. Ia masuk ke rumah yang cat dindingnya mulai mengelupas seolah-olah waktu sudah melompat jauh dan Tanalia tidak menyadarinya.

Masya memandangi tirai-tirai yang bergerak-gerak di tiup angin. Tirai jendela di kamar Tanalia. Sudah lama sekali ia di sana. Sudah banyak sekali ia menangis. Tanalia belum juga kembali. Mungkin Tanalia bermain agak jauh. Tak apa. Ia tak akan marah, segera pulang ya, Nalia, bisiknya dalam hati. Tanalia membuka pintu kamarnya. Dan menutup pintu itu dengan suara agak keras.

Nalia! Masya menoleh. Ia merasa baru bangun dari mimpi buruk yang amat panjang. Tanalia pulang. Tapi, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada. Perlahan wajah Masya redup kembali. Ternyata aingin baru saja bermain-main dengan pintu amar Tanalia.

Masya berpikir-pikir, ah, sejak kapan pintu itu terbuka? Siapa yang membukanya? Pintu kamar itu tertutup selama ia menanti Tanalia. Ia sudah berhari-hari di sana. Sudah meninggalkan pekerjaan. meninggalkan segalanya.

Tanalia berdiri memandangi kebun bunga di dinding kamarnya. Kemudian ia masuk ke kebun bunga itu. Ia menghibur diri dengan mencari kupu-kupu kuning di bawah daun mawar. Bagaimanapun selalu ada keajaiban dalam hidup. Siapa tahu kupu-kupu itu tidak kemana-mana. Tidak ada. Tanalia mendesah.

Ia melewati mawar. Mungkin saja kupu-kupu itu bermain di balik bunga lainnya. Tidak. Tidak ada. Kupu-kupu itu tidak ada di mana-mana. Ia benar-benar sudah pergi, Tanalia menggigit bibirnya. Tak ada lagi kepak sayap kupu-kupu kuning di kebun bunganya. Tak ada.

Kulit muka Tanalia pucat, nyaris putih. Betapa ngeri mengalami suatu kehilangan. Kedua kakinya gemetar. Ia tahu ini kenyataan. Ia kini seorang diri dan itu menakutkan. Betapa nakalnya kamu, Nalia, gerutu Masya. Ia berjalan ke jendela. Menempelkan sisi kanan kepalanya ke kaca dan matanya mencari-cari Tanalia di luar. Sekelompok anak-anak bermain. Satu orang anak masih mengenakan seragam sekolah dasr. Sudah lama sekali rasanya ia melihat anak-anak itu di sana. Apa di tempat mereka waktu berhenti bergerak?

Jangan-jangan begitu juga yang terjadi pada Tanalia. Waktu yang tidak bergerak dan karenanya ia belum pulang. Masya memandangi kamar Tanalia. Tirai. Alas tempat tidur. Baju yang digantung di belakang pintu. Lemari hitam yang masih mengeluarkan bau cat meski sudah bertahun-tahun lamanya.

Lukisan kupu-kupu dengan sebelah sayap yang robek. Mata Masya berhenti di lukisan itu. Ia tidak menyukainya. Kalau bukan karena Tanalia merengek berjam-jam, ia tak akan membiarkan lukisan kupu-kupu menempel di dinding itu. Tanalia penyuka kupu-kupu. Dari kecil selalu melukis kupu-kupu. Sementara Masya benci sekali pada kupu-kupu. Mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan bersama lelaki kupu-kupu yang menusuk dadanya. Cepat ia turunkan pandangan ke arah jam di meja belajar Tanalia. Jarum pendek jam itu menunjuk angka empat. Jarum panjangnya terus berdetak. Sekali lagi ia melempar pandangan keluar. Anak-anak itu masih di sana.

Di manakah Tanalia bermain? Tanalia tidak ada di antara anak-anak itu. Tanalia berdiri cepat-cepat. Kembali membuka pintu dan membantingnya. Nalia! Seru Masya sekali lagi. Pintu kamar Tanalia meninggalkan gema yang semakin lama semakin pelan. Masya mematung. Menatap pintu seolah-olah di sana Tanalia berdiri sedang memandangnya.

Tanalia sudah berada di halaman lagi. Di langit, kupu-kupu sudah menghilang. Muka Tanalia murung, bibirnya sedikit melengkung. Ke mana ia akan cari kupu-kupu itu? Ia tidak bisa mengejar kupu-kupu yang terbang terlalu tinggi. Apalagi sekarang ia tidak tahu kupu-kupu itu di mana.

Teman-teman Tanalia masih berkelompok, berdiri tak terlalu jauh dari rumahnya. Mata mereka memandang ke arah langit. Kadang tangan mereka menunjuk-nunjuk. Tanalia bergegas mendekat. Bergabung bersama anak-anak itu. Ikut memandang langit. Ia tidak melihat apa-apa selain beberapa gumpalan awan yang baru tumbuh.

"Kalian lihat apa?" tanya Tanalia. Anak-anak itu tidak menjawab. Bahkan mereka tidak menoleh. Mereka asyik saja menunjuk-nunjuk. Seakan sengaja ingin mempermainkan Tanalia. Atau mereka memang tidak mendengar suara Tanalia. Mereka hanya sibuk memikirkan benda yang terbang di langit. Mereka sedang menunggu-nunggu benda itu melintas lagi.

Tanalia menghentakkan kakinya dan meninggalkan anak-anak itu. Ia harus memikirkan bagaimana caranya membawa pulang kupu-kupu kuning. Nalia! Nalia! Masya berteriak dari jendela. Ia baru saja melihat Tanalia di antara anak-anak itu. Tanalia mengenakan baju main model kodok yang sangat disukainya. Baju itu hadiah ulang tahun darinya tiga tahun lalu.

Baju dengan corak bunga --sebagaimana kebanyakan baju Tanalia. Masya meninggalkan jendela, meninggalkan kamar Tanalia. Ia bergegas membuka pintu depan. Menghabur ke halaman. Melewati pintu pagar yang terbuka. Serombongan anak-anak menunjuk-nunjuk langit. Anak-anak yang dilihatnya dari jendela. Di mana Tanalia? gumamnya. Tadi ia sungguh-sungguh melihat Tanalia.

"Kau lihat Nalia?" tanyanya pada seorang anak yang masih memakai seragam sekolah dasar. Anak itu tidak menggubris. Ia sibuk berceloteh pada temannya sambil terus menunjuk-nunjuk langit.

Masya bertanya pada anak lain, tapi tak ada yang mengacuhkannya. Ingin sekali ia marah pada anak-anak itu. Ia ikut-ikutan melihat ke atas. Tak ada apa-apa. Langit biru lembut dan beberapa gumpal awan. Apa yang dilihat ana-anak itu? Ia segera teringat lagi pada Tanalia. Cepat-cepat ia pergi. Entah kemana. Ia hanya ingin mencari Tanalia sebelum anak itu pergi jauh.

Tanalia kembali ke kamarnya. Ia pandangi kebun bunga di dinding kamar itu. Betapa kosongnya kebun itu tanpa kupu-kupu kuning. Ia sudah berjalan jauh. Mencari ke mana-mana, kupu-kupu itu memang sudah benar-benar meninggalkannya.

Bagaimana kalau aku jadi seekor kupu-kupu saja? pikirnya. Tanalia terperanjat dengan pikirannya sendiri. Masya kembali ke kamar Tanalia. Ia sudah berjalan ke mana-mana. Tanalia tak juga ia temukan. Jejak Tanalia kembali hilang. Ia memutuskan untuk menunggu saja. Sekarang ia tengah memandangi kebun bunga di dinding kamar Tanalia. Ia ingat satu hari saat memberikan kejutan kebun bunga itu.

Tanalia memejamkan matanya. Ia memutuskan menjadi kupu-kupu. Kelak aku akan terbang tinggi ke langit, mengejar kupu-kupu kuning yang sedang mencari cahaya, batinnya. Masya lebih mendekat ke arah kebun bunga. Kebun itu tampak sangat sepi. Dulu Tanalia menginginkan seekor kupu-kupu.

Mungkin karena Tanalia terlalu kesepian. Ia ingin teman. Tapi Masya tak mungkin membiarkan Tanalia membawa masuk binatang itu. Tubuh Tanalia perlahan berubah menjadi kupu-kupu. Tanalia memiliki sayap tipis berdebu. Memiliki mulut penghisap dengan sebatang probois. Mata serupa belahan bola di atas kepala. Juga badan yang lembut. Kaki-kakinya ia gerak-gerakkan.

Tanalia belajar manaikkan tubuhnya ke udara. Mata Masya terbeliak melihat seekor anak kupu-kupu belajar terbang di kebun bunga di dinding kamar Tanalia. Itu kupu-kupu sungguhan, pikirnya merinding. Ia lari ke dapur. Mengambil sapu. ketika kembali, anak kupu-kupu sudah menempel di dinding. Masya segera memukulkan ujung sapu ke arah anak kupu-kupu.



GM, 2014
Yetti A.KA, buku terbarunya yang akan segera terbit, kumpulan cerpen Satu Hari yang Ingin Kuingat dan sebuah novel Seperti Krisan. Tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat