Kamis, 31 Januari 2013

Dendam tak Bertuan

Share on :

Dendam tak Bertuan
Cerpen: Shandy Tan

Meja itu memang di kutuk oleh gadis yang meninggal bunuh diri di sini, setahun yang lalu......

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Judyth mengedarkan pandangannya menyapu seisi ruangan cafe yang yang terletak di lantai lima pusat perbelanjaan ini. Suasa cafe amat padat, barangkali kali karena bertepatan dengan malam minggu. Memang, sebagian besar pengunjungnya adalah pasangan remaja yang sedang mabbuk cinta. Cafe ini sudah terkenal sebagai cafe paling romantis, karena setiap meja hanya punya dua kursi. Yang punya usaha memang merancangnya untuk pasangan-pasangan kekasih. Dari namanya saja sudah terbaca maksudnya: "Cafe Sejoli"

Judyth memandang berkeliling sekali lagi dia memang sudah mendapatkan tempat yang cukup strategis, yaitu paling ujung dekat pintu masuk. Dengan demikian ia bisa mengamati semua pengunjung Cafe Sejoli. Saat ini semua meja sudah terisi. Hanya masih ada satu meja yang kosong, yaitu meja nomor 66 yang letaknya tak jauh dari jendela. Padahal lokasi meja itu lumayan strategis, insan yang memadu kasih di sana bisa sekaligus memandang indahnnya lampu-lampu jalan maupun bangunan yang menyemarakan Kota Medan malam ini.

Pasti gara-gara beberapa kejadian yang berulang setahun terakhir di Cafe Sejoli, batin Judyth. Lamunnya terusik oleh kehadiran sepasang remaja yang baru masuk. Mereka tidak segera mencari meja.

"Ya...." keluh si gadis kecewa. "Tempatnya sudah penuh semua. Ini gara-gara macet tadi, sekarang kita nggak kebagian kursi. Cari cafe lain aja yuk?"

"Tunggu Rose," cegah pacarnya, lalu menunjuk ke dekat jendela. "Meja itu masih kosong, kita bisa duduk di sana."

Judyth melihat wajah Rose memucat.

"Aku tidak mau," katanya dengan suara lirih, agar bergetar seperti orang ketakutan. "Kita cari cafe lain."

"Tapi kenapa?"

"Kau lihat nomor meja itu?"

"Nomor 66. Ada yang aneh?"

"Apakah setahun ini kau tidak tinggal di bumi, Ken? desis Rose sambil membelalak pada kekasihnya. "Meja itu meja hantu!"

Kening Ken berkerut. "Meja hantu?"

"Iya. Sudah empat cewek yang meninggal, karena mereka bertengkar hebat, lantas si cewek melompat dari jendela dan mati! Meja itu angker dan membawa malapetaka!"

"Kau terlalu banyak nonton film horor."

"Ini kisah nyata, Ken, bukan rekaanku."

"Kita sudah mahasiswa," tegas Ken.

"Kalau meman benar meja itu angker, dan banyak orang mengetahuinya, kenapa cafe ini tetap ramai dikunjungi? Logikanya, orang pasti menganggap yang menyeramkan adalah cafe ini, bukan salah satu meja di dalamnya, jadi tak akan ada yang datang. Sekarang kau lihat sendiri keadaannya, begitu padat sampai kita nyaris kehabisan tempat. Ayolah, nanti...."

"Kau tidak mengerti!" desis Rose.

"Justru itu yang menjadi daya tarik cafe ini. Orang-orang seperti terobsesi untuk melihat dari dekat meja 66, meja kematian. Boleh percaya boleh tidak, kendati sudah empat gadis yang meninggal dengan cara serupa saat menempatinya, tapi cafe ini semakin laris. Aku ingat betul saat Cafe Sejoli ini dibuka dulu. Sampai dua bulan kemudian hanya dikunjungi paling banyak sepuluh orang setiap hari, padahal daya tampung kursinya sekitar seratus orang. Seperti katamu tadi, sekarang ini Cafe Sejoli nyaris penuh tiap jam, kecuali meja 66. Padahal menunya tidak seistimewa cafe lain di gedung ini."

Pemuda jangkung itu diam saja.

Meja itu tidak.... tidak..." Rose seolah kesulitan istilahyang tepat. ".... tidak wajar."

"Kau ini terlalu...."

"Sudahlah!" sergah Rose agak keras, membuat beberapa pasangan menatap heran. Buru-buru ia mengecilkan volume suara. "Pokoknya aku tidak mau duduk di situ. Kalau kau nekad, silakan, aku pulang sendirian juga nggak apa. Kau memang nggak perlu takut, soalnya yang akan meloncat dari jendela itu adalah aku dan bukan kau!"

Judyth melihat Ken agak serba salah.

"Oke, jangan marah lagi. Kalau kau memang tidak suka, silakan pilih cafe lain. Kita pergi sekarang."

Mereka berlalu. Judyth hanya menggidikkan bahu. Dalam kurun waktu ini, memang sudah terjadi empat peristiwa serupa yang menimpa pasangan-pasangan di meja 66. Tepatnya menimpa sang cewek. Seperti cerita Rose tadi, mulanya pasangan yang memilih meja itu nampak mesra. Mereka berbisik penuh cinta, bertatapan penuh rindu. Lalu perlahan keadaan berubah. Suara-suara yang semula tampak mendayu, mendadak seperti dibantu pengeras suara. Muda-mudi di situ bertengkar hebat, tak peduli jadi pusat perhatian orang banyak. Dan, bagai menyaksikan sebuah adegan lamban, berpuluh pasang mata disuguhi tontonan mengerikan saat sang gadis di meja 66 mendekati jendela lalu menjatuhkan diri secara mendadak.

Judyth menghela napas. Semua itu bukan kabar burung atau dongeng seram yang disebarluaskan untuk tujuan komersial, bukan pula iklan terselubung untuk menyedot perhatian masyarakat. Itu kisah nyata Judyth menyaksikan tiga peristiwa terakhir dengan mata kepalanya sendiri, mulai dari masuknya pasangan pasangan-pasangan naas itu sampai aksi "terjun bebas" si dara. Sekarang cerita mengerikan itu sudah menjadi mitos di mata masyarakat: meja 66 adalah meja petaka, pasangan yang menempatinya akan jadi pasangan paling merana. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, menyebut meja 66 adalah meja hantu.


Pendek kata, meja 66 seolah menjadi semacam tugu peringatan bagi muda-mudi yang ingin menghabiskan waktu di Cafe Sejoli. Lamunan Judyth terusik ketika sepasang remaja yang terlihat mesra berdiri tak jauh di sampingnya. Sama seperti Rose dan Ken tadi, kedua orang ini juga tampak ragu-ragu.

"Ya..." kata cowoknya.

"Tinggal meja itu yang kosong."

"Kenapa dengan meja itu?"

"Itu meja 66. Meja hantu."

"Ah, mitos!" sergah si cewek.

Judyth tersenyum samar melihat kecuekan gadis itu. Dalam hati dia menebak, si cewek pasti tipe manusia yang suka bermain dengan bahaya. Tunggu saja sebentar lagi

"Kau tidak percaya?" tanya si cowok.

"Cerita konyol itu?" cibir gadis itu. "Yah, memang kisah nyata, tapi pasti ada penjelasan yang logis."

"Kau mau menjelaskannya?" goda si cowok.

"Boleh. Aku akan menguraikannya secara psikologi. Menurutku, yang terjadi itu adalah suatu kebetulan...."

"Kebetulan?" si cowok mendelik. "Kebetulan tidak akan terjadi sampai empat kali, Pink."

"Aku belum selesai, jangan dipotong dulu. Kebetulan peristiwanya pernah terjadi dua kali pada meja yang sama dan dengan model tragedi yang sama pula. Lalu orang-orang mulai mengajukan teori teori senada sehingga membentuk sebuah mitos yang secara psikis mulai mempengaruhi siapa saja yang ingin menempati meja itu."

"Oke-oke, aku ngalah. Susah ngelawan mahasiswa psikologi," cetus si pemuda sambil menggandeng lengan gadisnya.

"Kesimpulannya, kau sama sekali nggak percaya, aku juga. Kupikir, pasti seru kalau kita bisa jadi pasangan yang mampu menepis kepercayaan umum. Tentunya kau tidak keberatan kalau kita duduk di sana."

"Aku setuju," sahut Pink.

Mereka langsung menuju meja 66. Judyth senyum tipis. Benar dugaannya, kedua insan itu memang pemberani. Hampir semua pengunjung cafe memandangi keduanya dengan sorot mata ngeri, seolah mereka adalah hantu penunggu meja yang setahun ini sudah menelan korban empat gadis belia.

Judyth kembali sibuk dengan lamunannya, berharap dapat bertemu dengan orang yang lama ditunggunya. Cewek bermata sendu itu menoleh ketika terdengar suara ribut-ribut seperti orang bertengkar mulut. Refleks matanya mencari sumber suara. Dilihatnya gadis di meja 66 sudah berurai air mata. Sedang yang cowok berteriak dengan wajah yang merah. Para pengunjung cafe mulai tegang, beberapa remaja puteri bahkan terlihat pucat. Tontonan gratis itu tidak berlangsung lama. Pink berdiri. Semua orang seolah terhipnotis saat ia mendekati jendela. Dan bagai sebuah adegan lambat, Judyth bersama puluhan orang lainnya menyaksikan tubuh mungil itu melompat, sebelum ada yang sempat bergerak. Tubuh Pink lenyap bersama jeitannya yang menyayat.

Detik itu pula kekasihya bagai tersadar dari mimpi. Dengan teriakan histeris ia memburu ke jendela, namun yang terlihat hanya sosok bersimbah darah di halaman gedung. Suasana cafe seketika penuh gumam, mulai ngeri sampai gumam prihatin. Yang paling banyak adalah gumam menyalahkan muda-mudi naas itu karena tidak mempercayai mitos meja 66.

Judyth menghela napas iba. Ini untuk yang keempat kalinya ia menyaksikan adegan serupa, berari korban yang jatuh sudah lima orang. Hatinya terenyuh melihat pacar Pink masih menjerit-jerit histeris menyalahkan dirinya. Sementara di luar, sirene polisi dan sirene ambulans menambah mencekamnya suasana. Judyth menyembunyikan tubuhnya makin ke sudut, saat matanya menangkap sesosok orang tubuh yang pernah dikenalnya dengan baik.

"Ternyata mitosmeja 66 itu benar," gumam sosok tadi, seorang dara manis, pada teman pria yang bersamanya. Mereka baru tiba, dan si cowok tengah mengamati kerumunan di jendela.

"Apa yang benar?" ulang si cowok.

"Mitos itu. Waktu dia mengatakannya, kupikir dia cuma menceracau. Sama sekali tidak kusangka kalau dendamnya yang membara benar-benar ditinggalkan di meja itu."

"Kau bicara apa sih? Lagi stres ya?"

Yang ditanya menunduk dalam dan menjawab dengan nada sedih. "Meja itu memang dikutuk, Bob...."

"Oleh siapa?"

"Gadis yang bunuh diri pertama kali setahun silam."

"Kau seolah tahu persis ceritanya," selidik Bob.

"Karena.... karena gadis itu...," dia mengisak, "Adalah teman karibku sendiri..."

"Astaga, June! Rahasia apa yang kau sembunyikan dariku?"

"Dia puteri pemilik cafe ini," tutur June parau. "Saat itu ia punya pacar, seorang teman kuliah yang pernah menyukaiku. Di malam naas itu mereka sedang berduaan di meja 66, ketika aku menghampiri untuk mengembalikan saputangang si cowok yang tinggal di ruang kuliah. Temanku curiga dan cemburu, lalu marah besar padaku. Baru kutinggal selangkah, mereka bertengkar."

"Lalu?" desak Bob.

"Dalam kesalnya, Dwi mengancam untuk memutuskan hubungan. Temanku yang malang kehilangan kontrol dan melompat...." June berhenti bicara, dua tetas air mata membasahi pipi halusnya. "Aku masih sempat menjenguknya di rumah sakit. Dia sudah sekarat waktu itu, tapi masih sanggup menikamku dengan sorot mata penuh dendam, pada detik-detik terakhir ia berkata akan mengutuk meja itu dan meninggalkan semua kemarahannya di sana, sehingga siapa pun yang menempatinya akan bernasib sama. Bob, a.. aku..."

"Ssshh... June, ini bukan salahmu," bujuk Bob sambil memeluk gadisnya. "Jauh sebelum kejadian itu, kau kan sudah punya aku."

"Tapi Judyth tidak tahu, dia tetap berpikir kalau aku ingin merebut Dwi," isak June. "Aku merasa akulah penyebab segala. Tolong aku, Bob, aku tak ingin Judyth terus mendendamku dari alamnya."

"Kita pergi, June, kau bisa terguncang kalau terus di sini," Bob merangkul bahu June dan membawanya melangkah.

Judyth segera keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung menempatkan diri di depan keduanya, mencoba menghalangi gerakan mereka. Tapi.... wuuussss..... mereka menembuh tubuhnya. Judyth hanya bisa menatap geram. Sudah setahun dia menunggu mantan sahabat karibnya itu datang bersama seorang cowok, lantas memilih meja 66 agar dendamnya terbalaskan. Tapi baru sekarang June muncul, dan itu pun sudah lenyap dikeramaian tanpa masuk ke cafe.

"Demi setan-setan di neraka," gumamnya dengan bola mata menyala, "Aku tidak akan mencabut dendamku sebelum menyaksikan June mengalami apa yang menimpaku, jadi akan makin banyak korban yang jatuh untuk menemaniku di kegelapan!"

Suasana Cafe Sejoli berangsur tenang. Judyth kembali ke tempatnya semula, di sudut yang gelap, mengawasi dan menunggu pasangan pemberani yang akan menjadi korban ke enam. Kalau sekarang kau ada di sebuah cafe, lalu nomor mejamu 66, dan letaknya dekat jendela... hati-hati saja. Judyth sedang mengawasimu, siapa tahu kau tumbal berikutnya. Meja 66 dan korban ke 6 bukan angka yang baik, setan-setan menyenanginya. (dnl)

2 komentar:

Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.

Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih