Minggu, 09 September 2012

Bom Air Mata

Share on :

Cerpen: Imam Safri Lukman

Hiro terdiam mendapati gerbang sekolahnya hancur. Asap putih dan debu-debu membaur dalam kepanikan. beberapa teman sekolahnya menagis, memegang kepala yang bocor, menjerit menahan perih kaki patah, bahkan meninggal.

Hiro masih mematung. Tak dapat bergerak. Hanya seragam putih-merah dan dasinya yang diayunkan angin. Ketakutan telah menyihirnya sedemikian rupa. Hingga suara sirine ambulance dan ban mobil patroli polisi yan berdecit membuyarkan kengerian Hiro. Seorang berpakaian medis menggendong bocah itu, membawa Hiro menjauh, memberi jalan pada puluhan orang berpakaian tebal serba hitam dengan tulisan besar di punggung mereka; "GEGANA"

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



"Bunda, Yuk Nika belum bangun?" Hiro masuk ruang pasien dengan terburu-buru. Melepaskan tas sekolah dan langsung menghampiri bundanya.

"Bun." Mata Nika kerjap dua kali. Lemah sekali, tapi cukup mengulas senyum Hiro dan bunda.

"Adikmu ini hampir setiap menit bertanya, kapan kamu bangun." Akhirnya bunda bisa tersenyum, memandang dua buah hatinya secara bergantian.

"Bunda, kenapa kakkiku?" Nika sesegukkan, jika saja tubuhnya tidak selemah sekarang, suara tangisnya akan jauh lebih menggema. Tapi isak mungil tersebut ternyata menyayat hati bunda dibandingkan ketika dulu Nika meraung saat boneka barbienya dirusak Hiro.

Tak ada penjelasan bunda tentang pertanyaan buah hatinya. Semua kata yang ia susun, hancur menjadi kebisuan.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Bunda cepat-cepat mengusap airmata, menyadari langkahnya telah sampai di depan rumah salah satu langganan.

"Bu Waluyo, ikan Bu."

Seorang ibu bertubuh gembrot, keluar. Mengucek-ngucek mata dan menguap tanpa menutup mulutnya yang menganga.

"Ikan tongkol dua kilo." Bu Waluyo menyodorkan selembar uang seratus ribuan. "Apa kabar anakmu? Masih sekolah kan?" lanjutnya.

"Masih, Alhamdulillah Bu."

"Ambil saja kembaliannya, buat uang jajan anakmu."

"Jangan Bu, ini terlalu banyak."

"Jangan nolak rezeki!"

"Terima kasih, Bu." Secuil senyum mengembang di wajah bunda. Meski tak seorangpun tahu, apakah senyum itu mampu membuat hatinya melupakan tiap kesedihan. Bahkan untuk sementara saja, membiarkan amnesia tentang masa lalu yang pilu.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Malam menghitam, awan-awan bergerombol membawa gelayut titk-titik air. Dan benar saja, hujan turun berduyun-duyun membasahi. Menimbilkan orkestra gaduh di atap seng rimah bunda dan dua orang anaknya. Ya, mereka terpaksa pindah ke rumah yang jauh lebih kecil karena harus menjual rumah terdahulu.

Bunda buru-buru menutup jendela yang seperti hendak terlepas karena kekuatan angin. Rambut panjangannya ikut seliweran.

Hiro berlari, hendak menutup pintu depan.

"Saya duluan tidur, Pak. Besok pagi-pagi saya harus ke pelabuhan."

"Tunggu, ada yang harus aku bicarakan kepadamu." Waluyo menyeruput teh yang baru saja dihantarkan bunda. Bunda masih berdiri lima langkah dari pintu kamar. Satu-satunya kamar di rumah ini. Entah apa yang ada dipikiran bunda, perempuan itu seperti menangkap sesuatu hal penting yang akan ia dengar dari mulut Waluyo. Dan bunda mendekati, ikut bersimpuh di lantai semen yang dingin.

"A-ada apa, Pak?"

"Aku ingin memberimu ini." Waluyo membuka tasnya, mengeluarkan berikat-ikat uang yang sebagian lembap karena hujan.

"Astaga!" Bunda terkejut, tangan kirinya menutup mulutnya sendiri.

"Kau berhak mendapatkannya. Total keseluruhan lima puluh juta. Kau bisa membelikan kaki palsu yang bagus untuk anakmu, membiayai mereka sekolah dan keperluan lain."

"Omong kosong, mengapa tak pernah sampai ke tanganku?"

"Karena kami berjudi, dan judi ternyata memiliki candu yang luar biasa."

"Ha?"

"Jangan dipotong dulu! Suatu hari, seorang berambut pirang mengajak kami berbincang tentang agama,benar saja, kami seperti insaf dengan kata-kata dahsyatnya tentang agama. Tapi kami sebenarnya tak pernah dengar tuahnya tentang agama, yang kami dengar hanya kata-katanya tentang iming-iming uang yang banyak jika mau bergabung dengan kelompoknya. Dan kau tahu, pekerjaan kami adalah meledakkan bom."

"Baiklah, belum sempat dua minggu bergabung, pria berjenggot tersebut lalu memberi kami 'misi' untuk membunuh sekelompok sukarelawan dari Eropa, entahlah mengapa kami yang dipilih, mungkin karena hanya kami yang siap dan trlalu lugu dan dibutakan oleh uang. Kami hanya disuruh meledakkan bom di pelataran parkir penginapan mereka."

"Tempat yang kami ledakkan adalah sekolah Nika, Hiro dan anakmu! Mengapa tak kalian tembak saja sukarelawannya? Lihatlah, anakmu meninggal, Nika kehilangan kakinya!"

"Pertama, kami tak tahu jika anak-anak kami sekolah di sana. Bukankah sebelumnya mereka disekolahkan di tempat favorit? Mengapa kalian pindahkan? Kedua, kami tak pernah tahu jika ledakkan bakal sebesar itu, perkiraan kami ledakkannya hanya mampu menghancurkan penginapan sukarelawan tersebut. Dan ketiga, kami tak diajari cara menembak, belum pernah pegang senjata, dan jumlah sukarelawan itu puluhan."

"Cukup, keluar kau dan bawa uang-uangmu!" Bunda bangkit dan melemparkan setumpuk uang ke muka Waluyo.

"Dia belum mati?"

"Aku tak tahu. Tolong diambil uang ini, maaf karena baru malam ini aku punya keberanian untuk memberikannya padamu."

20 Tahun Kemudian.....



Hiro mengamati dari jauh. Hiro memicingkan mata, memandang ruko bertuliskan "Warung Makan Bunda" dari teropongnya. Seorang ibu berambut panjang sedang bercengkrama dengan gadis cantik, mereka sibuk mengantarkan pesanan. Sedikit terpincang, gadis cantik itu meletakkan sepiring nasi ke meja pelanggan. Mereka--pelanggan itu adalah sepasang suami istri, si istri tampak menguap dengan mulut menganga lebar.

"GELEGAAARR!!" sebuah dentuman besar terjadi di ruko tersebut. Asap putih dan debu-debu membaur dalam kepanikan. Kepanikan sekejap, karena tak ada yang bisa berteriak lebih lama. Ledakkan kedua menyusul. Lebih besar, lebih dahsyat dari bom air mata bunda. Kesedihan yang perempuan itu simpan seumur hidupnya, tersamarkan dalam senyum khas seorang ibu. (*)

Sumber: Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 9 September 2012

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.

Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih