Senin, 04 Februari 2013

Krikil-Krikil Cinta

Share on :

Cerpen: Eki Nastitie/Linda

Sebuah kendaraan dari samping kanan menyambar punggungnya dengan keras, membuatnya terpekik, kehilangan keseimbangan dan terpelanting jatuh ke sisi badan jalan....

* * * * * * * * * * * * * * *


Awal bulan terasa lebih dingin. Sejak sore tadi gerimis turun Anis duduk di bibir jendela. Pikirannya tengah melambung jauh di luar raga. Sesekali tarikan napasnya terdengr berat. Benaknya sepenuhnya terisi oleh kkejadian-kejadian yang membuatny begitu perih. Dimuli dari hari Senin itu, saat Anis melihat Dirga duduk semobil dengan seorang gadis, padahal cowok itu sudah janji mengantarnya pulang seusai sekolah.

Anis lalu pulang sendiri. Diperempatan mawar yang selalu macet, dia melihat starlet merah bergerak pelan dalam antrean. Di dalamnya terlihat Dirga sedang mengamati jalan, dan disampingnya duduk seorang gadis cantik! Menyakitkan! Itu satu-satunya perasaan yang menghujam dada Anis.

"Namanya Nilam, teman sekelasku wakti di Bone dulu. Dia ikut bapaknya yang dimutasi ke mari," jelas Dirga tanpa mimik berdosa saat Anis bertanya siapa gadis yang semobil dengannya. Anis percaya saja. Akan tetapi, dua hari kemudian, kepercayaan Anis mulai goyah. Dirga datang menemuinya, tidak sendiri, tapi berdua Nilam. Dengan jengah Anis mempersilahkan mereka masuk.

"Kok sepi, Nis, orang rumah pada kemana?" tanya Dirga santai setelah duduk di sofa panjang, bersisian dengan Nilam.

"Bapak dan ibu sedang keeluar, Fitri sedang keluyuran ke mall," jawab Anis menahan rasa rikuh. Dirga dan Nilam mangut-mangut.

"Gini, Nis, malam nanti di sana bisa kan?" ajak Dirga.

"Iya, Nis, datanglah kalau kau nggak keberatan," tambah Nilam.

Anis tercenung, cemburu mencabik-cabik hatinya, nyeri.

"Maaf, kayaknya aku nggak bisa, bapak dan ibu pulangnya malam, bisa diomelin kalau aku nekad pergi," kilahnya beralasan.

"Waw, sayang sekali kalau begitu, padahal acaranya dirayain besar-besaran lho, tapi baiklah kami pulang dulu," pami Dirga setelah ngelirik jam tangannya. Lalu, kembali tampa mimik berdosa, dia mengajak Nilam berdiri, melangkah ke teras depan.

Anis mengantarkannya sampai di halaman. Tangan Nilam melingkar diperut Dirga, manja sekali. Anis menarik napas menyaksikan pemandangan itu. Hatinya teriris. Angin menerpa wajahnya, dingin, seperti hatinya.

"Kau cemburu, he?" kejar Dirga, esok harinya, di sekolah, setelah Anis kehilangan senyum dan tak ingin ditemui.

"Salahkah jika aku cemburu?" balas Anis bertanya tanpa menahan ayun kaki. Dirga terkekeh. "Nggak, Nis, kau nggak salah. Aku kan pacarmu, itu wajar. Tapi Nis, cemburu itu nggak pantas, buta. Di antara kami nggak ada apa-apanya, suer!"

"Aku bukan anak kecil, Dirga. Jangan mendustaiku. Keakraban kalian nggak wajar, itu kentara sekali, iya kan?" debat Anis setelah menahan langkah pas depan laboratorium.

Dirga terdiam, menarik napas berat, melepaaskannya pela, menatap wajah gadis di depannya. "Baiklah, Nis," desahnya setelah berhasil mengusai perasaan. "Kami memang pernah pacaran, tapi itu dulu, waktu kami masih di SMP. Cinta kami baru cinta monyet...."

Anis mendesah. Kini dengan terpaksa kau bersikap jujur, bisik hatinya tanpa bisa menghalau rasa sakit di dada. "Terima kasih atas pengakuanmu itu."

"Kau nggak apa-apa kan?" Anis tidak menjawab. Sikap Nilam tampak begitu bebas pada Dirga, begitu agresif, manja. Mereka dulu berpisah karena jarak, dan bukan tidak mungkin Nilam bermaksud membangun kembali kenangannya dengan Dirga. Menjalin kembali ikatan mereka yang sempat terputus. Nilam cantik, sampai kapan Dirga bisa bertahan?

Prediksi-prediksi itu menusuk Anis, meluruhkan air mtanya> Nyerinya tak tertahankan lagi. Dia mencintai Dirga, sangat. Tapi dia juga tidak bisa membiarkan cowok itu mencabik-cabik harga dirinya terus menerus! Sebelum dengan Anis, Dirga pernah memacari beberapa gadis di lingkungan sekolah. Reputasinya kurang bagu. Dia memang tampan, bertubuh atletis, mata tajam, dan berkumis tipis. Dia dianugerahi kelebihan fisik sebagai seorang cowok. Tidak sulit baginya untuk menalukkan hati lawan jenis.

Tapi, setelah bersama Anis, cowok itu mengaku tidak akan pindah ke lain hati lagi. Dia berjanji akan akan menjadi kekasih yang baik untuk Anis. Dan gadis itu percaya saja. Sekuat-kuatnya elang terbang, akan lelah juga. Apalagi cintaku tulus. Jika kita bersikap tulus kepada seseorang, hasilnya tentu manis, begitu pikir Anis ketika itu.

Dirga memang betah di samping Anis. Dia tidak lagi melirik gadis lain, apalagi mencoba untuk selingkuh. Tidak. Setahun mereka lewati dengan tawa dan canda seperti tak pernah berkesudahan, manis.

Sampai kemudian Nilam datang, mengguncang bahagia Anis. Tak terhindarkan kekecewaannya, kesedihan dan kebingungan tertimbun di dada Anis. Hari demi hari Dirga semakin dekat dengan Nilam, sendirian, merawat sepi dan sakit hati.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, siang ini cuaca sangat cerah, matahari membakar, padahal belum mencapai titik kulminasi, baru pukul sebelas lewat sedikit. Mungkin karena langit biru jernih tak terhalang awan, angin pun tak berhembus meski sepoi-sepoi sekalipun. Waktu istirahat siang tiba. Anis duduk sendirian di dalam kelas. Dia malas keluar, hanya melamun, dan tersentak kaget ketika Weni datang menepuk bahunya.

"Kenapa menyendiri?" Anis senyum malu. Dulu, dia selalu mengejek orang yang melamun. Memanjakan khayalan pekerjaan, manusia bodoh, itu katanya dulu. Tapi sekarang dia sendiri yang melakukannya.

"Lagi ada persoalan?" tanya Weni lagi saat melihat kabut tipis di telaga mata Anis. "Cekcok sama Dirga?" tambahnya. Dibiarkannya Anis menimbang-nimbang, tak ingin memaksa jika dia tak ingin mengatakannya.

"Kok begini, Nis?" dia akhirnya tak sabar lagi menanti kalimat dari bibir temannya itu. "Kau nggak percaya lagi padaku? Bukankah selama ini kita selalu saling membantu mengatasi persoalan?" lanjutnya.

"Aku nggak apa-apa, Wen," sahut Anis lemah.

"Lalu kenapa murung?"

"Kenapa? Napasku sesak. Aku nggak ingin kehilangan dua jam terakhir yang penting, kimia dan fisika. Lagian aku sudah minta obat UKS, sebentar lagi pusingku juga hilang."

"Kau yakin?"

Anis mengangguk. Weni menyentuh lengannya. "Ingat ya, Nis, jangan terlalu memaksakan diri," nasehatnya.

"Thanks...."

Pulang sekolah Anis menyusuri tepi Jalan Andi Mallombasang. Rasa pusing dikepalanya sudah sedikit hilang. Di halte depan BNI, dia bisa naik angkot yang langsung menuju rumahnya. Akan tetapi, belum sampai ke sana, sebuah kendaraan dari samping kanan menyambar pinggangnya dengan keras, membuatnya terpekik, kehilangan keseimbangan dan terpelanting jatuh ke sisi badan jalan.

Orang-orang datang menolongnya, membantunya berdiri. Pingganngnya sakit, dengkulnya lecet dan berdarah. Anis meringis menahan nyeri. Sekilas tadi dapat meliht mobil yang menabraknya, sebuah starlet merah yang dikendarai Dirga, dan gadis itu ada di sampingnya. Hati Anis menangis di atas lju angkot yang membawanya pulang.

Sorenya, ketika anis duduk di beranda, Dirga datang dengan ekspresi bersalah. "Maafkan kejadian siang tadi, Nis. Aku nggak sempat menolongmu, takut polisi keburu datang. Kau sendiri tahu kan, aku belum punya SIM," katanya.

Anis diam.

"Kau marah?"

"Nggak, lupakan saja. Kau datang hanya untuk mengatakan itu kan?" kata Anis sinis.

"Jngan berkata begitu dong. Kau pasti hanya cemburu melihat aku dengan Nilam."

Anis mendengus kesal.

"Hei, kenapa kau lain sekali sore ini?" Dirga mencoba meraih tangan Anis, tapi gadis itu menghindar.

"Aku sendiri yang telah mengubah keadaan seperti sekarang ini. Sebagai seorang pacar, jujur saja, kau telah melukai harga diriku!"

Dirga menatapnya dengan sorot mata resah. "Sudahlah, Nis, nggak usah terlalu cemburu, kami hanya...."

"Hanya apa?"

Dirga menghela napas. Dia sadar, keadaan sedang gawat. "Kami hanya berteman, Nis," katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan. "Kau hanya salah paham. Kalau toh sempat pacaran, itu lama berpisah, Nis. Apakah salah jika kemudian aku akrab dengannya? Apakah salah jika kemudian kami kelihatan mesra?"

Mata Anis menatap tajam. "Kalau kau pacaran dengan sebongkah batu, barangkali nggak adaa persoalan, tapi aku manusia, punya hati dan perasaan.... ah, lupakanlah. Nggak ada gunanya perdebatan ini, agar kau bebas melakukan apa saja dengan gadis itu, maka mulai detik ini aku melepasmu, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. Selamat sore!" tandasnya.

Lengan Dirga terangkat, tapi kemudian menggantung di udara. Anis telah menghilang ke dalam rumah. Dirga lemas, semangatnya melayang. Setelah dipikir-pikir, Anis memang benar, tapi sudah terlambat, nasi sudah jaadi bubur. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.

Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih